Jam menunjukkan pukul setengah tujuh malam ketika Aileen menyusuri jalan dengan menggunakan sepedanya. Ia baru saja mengantarkan laundry kepada pelanggan. Jaraknya yang lumayan jauh, membuat kaki Aileen lelah mengayuh sepeda. Mau bagaimana lagi, hanya ini yang bisa dia lakukan untuk membantu kedua orang tuanya.
Jalanan masih agak ramai karena malam belum terlalu larut. Namun tetap saja, fakta itu tidak akan menghilangkan rasa takut Aileen terhadap hantu. Apalagi langit yang gelap disertai kilat seperti menunjukkan bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Dan jelas hal itu menambah kekhawatiran di hati Aileen.
Ia sebenarnya membawa payung di keranjang depan sepeda. Tetapi Aileen tetap harus meneduh apabila turun hujan, karena tidak mungkin kan ia mengemudikan sepeda dengan satu tangan memegang payung?
Tak selang lama, apa yang dikhawatirkan Aileen terjadi. Hujan mulai turun. Awalnya tidak deras, tapi lama-kelamaan air yang turun seperti anak panah yang menghujam Aileen. Dengan terpaksa gadis itu menepikan sepedanya di sebuah kafe kecil yang masih buka. Orang-orang menatapnya kasihan, Aileen tak peduli.
Tiba-tiba seorang gadis keluar dari kafe tersebut membawa kantong plastik berisi minuman. Sepertinya ia lebih muda dari Aileen. Paling anak SMP yang baru saja nongkrong dan minum kopi. Gadis itu terlihat menghembuskan napas kasar ketika sadar bahwa hujan telah turun. Mungkin karena ia tidak membawa payung dan bingung bagaimana ia bisa pulang.
Saat gadis itu menyadari keberadaan Aileen, ia mendekat. "Kakak nggak bisa pulang juga?"
"Bisa tuh, emang kenapa nanya-nanya?" Aileen berujar ketus. Rasa-rasanya gadis itu mengingatkan Aileen pada seseorang hanya karena melihat wajahnya.
"Kalo bisa kenapa masih di sini, Kak?"
"Nggak liat masih hujan? Gue bawa sepeda, nggak mungkin tangan gue bisa buat megang payung."
"Ya artinya nggak bisa pulang, Kak. Sama kayak saya." Gadis itu mendengus. Namun dalam sejenak, ekspresinya berubah menjadi ramah sekali. Pasti ada maunya. "Kakak mau nganterin saya ke rumah? Nanti biar saya yang bawa sepeda, Kakak yang megangin payung buat kita berdua. Gimana?"
Dan yah, tebakan Aileen dalam batinnya memang tak pernah salah.
"Sorry-sorry aja nih ya, enak banget lo minta dianter. Terus gue gimana, hah? Lo tinggalin gitu aja waktu udah sampe rumah? Rugi lah gue," jawab Aileen tak terima.
"Nanti Kakak neduh di rumah aku dulu. Terus kalo misal masih hujan, janji deh aku bakal suruh supir buat nganterin Kakak sampe ke rumah." Gadis tersebut masih mencoba untuk merayu Aileen agar mau membantunya.
"Lo siapa, sih? Kita nggak kenal dan seenaknya lo minta tolong sama gue?" tanya Aileen sarkastik.
Gadis itu malah tersenyum dan mengulurkan tangannya. "Kenalin Kak, aku Nefirda. Panggil aja Firda."
"Dih, malah ngajak kenalan." Aileen mencibir namun tak urung menerima uluran tangan Firda.
"Jadi gimana Kak tawarannya? Mau diterima nggak?"
"Kenapa lo nggak langsung minta jemput sama supir sekalian? Kenapa juga harus gue yang anter?"
"Aku lupa bawa handphone. Kalo kakak nggak mau nganterin aku, aku nggak bisa pulang, dong."
"Hmm, karna gue baik nan cantik, gue bakal nganterin lo. Btw nggak usah panggil gue Kakak soalnya gue nggak nikah sama kakak lo."
"Tapi Kakak aku ganteng loh."
"Bodo amat. Mau dianterin nggak?"
Firda mengangguk antusias. "Iya lah, Kak."
"Jangan panggil gue Kakak, lo umur berapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Brokenheart Syndrome [END]
Teen FictionAileen Claretta. Seorang gadis yang menderita Brokenheart Syndrome sejak ia berumur empat belas tahun. Tak ada satu pun yang tau tentang itu. Aileen menyimpan semua sendiri. Terkadang, ia hanya membagi hal tersebut pada cahaya bulan yang seringkali...