Hari ini adalah hari dimana kelas IX IPA 1 melaksanakan kegiatan pembelajaran olahraga di luar kelas. Mereka yang telah berganti kaos olahraga langsung dikomando untuk menuju ke lapangan.
Pak Ridwan guru olahraga mereka berhalangan hadir. Gian dan Aileen ditugaskan untuk mengambil bola basket sesuai dengan materi pembelajaran saat ini.
Mereka telah sampai di ruang olahraga yang berisi berbagai macam peralatan dari bola kecil, bola besar, hingga bola berat yang digunakan untuk olahraga tolak peluru.
Gian mengambil tiga bola basket kemudian diberikan kepada Aileen hingga gadis itu kesusahan. Sedangkan dirinya sendiri hanya mengambil dua bola saja.
Aileen mendengus kesal. "Lo tuh laki apa cowok sih."
"Yang jelas gue nggak lemah kayak lo," jawab Gian santai dengan mimik muka yang amat menyebalkan.
"Kalo lo gak lemah kenapa setiap dikasih tugas gue kebagian beratnya, hah?!" bentak Aileen dengan wajah garang. "Sedangkan lo cuma yang enteng dengan alasan tugas lo cuma ngawasin gue."
"Lah kan emang tugas gue cuma ngawasin lo. Udah mending gue kasih keringanan dengan rela bawain dua bola ini. Mau kalo semuanya lo yang bawa?"
Sontak Aileen mendesis tajam. "Ya nggak mau lah. Yang ada gue pingsan sebelum sampe ke lapangan."
"Sesuai karakter lo, alay dan lemah," cerca Gian sambil berjalan meninggalkan Aileen.
Gadis itu bersungut-sungut namun tak urung untuk mengekor Gian. Sepanjang jalan Aileen sangat kesusahan dengan Gian yang sangat santai berjalan di depan sana. Gadis itu mengumpat dalam hati.
Ia mencoba menyusul ketertinggalannya. Saat sudah berada tepat di samping Gian, cowok itu hanya melirik tajam kemudian kembali menghadap depan.
Sok ganteng banget. Batin Aileen yang hanya berani julid dalam hati saja.
Saat ini koridor memang sepi karena para murid masih berada di kelas untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran. Bel istirahat pun belum berbunyi. Jadi wajar.
Ketika hampir sampai di lapangan, Aileen dan Gian berpapasan dengan Kalya. Aileen menghentikan langkah untuk menyapa ramah gadis yang telah menolongnya itu. Ia juga memaksa Gian untuk berhenti sebentar.
"Hai Kalya, mau kemana?" sapanya ramah dengan senyum kelewat lebar.
Gian melirik Aileen dengan malas, dalam hati ia bertanya-tanya bagaimana bisa seseorang tersenyum sampai seperti itu tanpa takut mulutnya sobek? Gian bergidik ngeri, ia tidak bisa membayangkan kalau dirinya yang tersenyum selebar itu.
Kalya membalas sapaan Aileen tak kalah ramah. "Eh, hai juga Len. Mau ke toilet, nih," jawabnya sambil mencuri pandang ke sosok di samping Aileen, Gian.
"Ah iya, aku mau bilang makasih buat tadi malem. Kamu jago juga ya ngobatin luka."
"Hehe, nggak juga, Len. Kebetulan aja pernah liat Mami aku ngobatin orang. Dia dokter soalnya."
"Wah, hebat Mami kamu, kayak anaknya."
"Bisa aja kamu, Len." Kalya tersenyum malu-malu. Ia masih saja curi-curi pandang ke Gian.
Sedangkan cowok itu? Hanya memandang keduanya dengan tatapan bosan. Aileen menyenggol lengannya pelan. Ia mengode Gian agar lelaki itu bisa bersikap ramah pada Kalya.
Namun tetap saja, walau dipaksa nyatanya wajah Gian masih datar. "Apaan?"
"Nggak punya adab ya lo?" Bisik Aileen pelan agar Kalya tidak bisa mendengar keduanya.
Namun semua orang tau, mau sepelan apapun bisikan Aileen, tetap saja terdengar keras. Jadi Kalya hanya bisa tersenyum muram menanggapi kalimat yang dilontarkan oleh Aileen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brokenheart Syndrome [END]
Teen FictionAileen Claretta. Seorang gadis yang menderita Brokenheart Syndrome sejak ia berumur empat belas tahun. Tak ada satu pun yang tau tentang itu. Aileen menyimpan semua sendiri. Terkadang, ia hanya membagi hal tersebut pada cahaya bulan yang seringkali...