Hari ini adalah hari keberangkatan Gian ke Paris. Dari kemarin Gian selalu menyempatkan dirinya untuk menjenguk Aileen yang sampai saat ini masih tak kunjung membuka mata. Sepertinya Aileen memang sangat mengantuk sampai harus tidur tiga hari lamanya.
Aileen juga sudah dipindahkan ke ruang kamar inap karena keadaannya yang selalu membaik dari hari ke hari. Hal itu tentu saja membuat Gian tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Tuhan karena telah menyelamatkan orang paling berharga dalam hidup Gian saat ini dan seterusnya. Dan ya, ini hari terakhir Gian bisa menjenguk Aileen di rumah sakit. Karana besok, Gian sudah ada di belahan dunia yang berbeda dengan Aileen.
Sedari pagi Gian tak bosan-bosannya memandang wajah tenang Aileen yang tengah menutup mata. Dulu, Gian juga pernah disuguhkan pemandangan yang sama. Tapi jelas hari ini berbeda dengan hari kemarin. Kalau waktu itu Gian sempat merasa Aileen lebih cantik saat diam, sekarang dia mengaku salah. Karena Gian lebih suka Aileen yang tertawa dan selalu nyerocos cerewet saat berada di sampingnya.
Gian membelai rambut Aileen dengan lembut, "Bangun dong, nggak mau nagih mie ayamnya?"
Hening. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Gian. Hal itu jelas karena Aileen masih belum sadar dari tidurnya. Tapi Gian tidak peduli. Ia akan bersedia menjadi orang gila yang berbicara sendiri untuk hari ini.
"Lo itu kenapa sih selalu jadi penyebab rasa khawatir gue muncul secara berlebihan? Padahal gue nggak pernah ngrasain hal itu sebelumnya. Gue selalu tenang dan nggak terlalu peduli sama masalah orang lain. Tapi lo? Kalau inget wajah lo gue itu serasa dipaksa untuk peduli dan khawatir. Dan gue nggak bisa nolak semua itu, Len."
"Lo itu sama pentingnya kayak nyawa gue, atau bahkan lebih penting? Entahlah. Rasa-rasanya sejak lo dateng, semua yang ada di hidup gue nggak ada artinya dan cuma lo yang punya arti. Dari awal gue pengen benci sama lo yang lemah dan nggak bisa apa-apa, tapi tubuh gue malah bereaksi sebaliknya. Gue peduli sama lo terlepas dari tanggung jawab apapun. Tanggung jawab cuma alasan gue biar bisa nolongin lo setiap saat."
"Andai waktu di toilet gue nggak pernah ngasih sapu tangan itu ke lo, apa kita bakal sedeket ini?" Gian tertawa renyah, "Hari itu gue bingung banget sama diri gue sendiri. Kenapa bisa gue peduli sama cewek nangis yang bahkan gue nggak tau namanya? Tapi sekarang gue udah nggak bingung. Gue tau kalo itu semua adalah takdir kita buat ketemu dan deket. Gue sama sekali nggak menyesal. Andai gue disuruh balik ke waktu itu lagi, gue juga bakal nglakuin hal yang sama."
"Kok hari ini gue cerewet banget, sih? Dalem hati lo pasti ngetawain gue karena lo bisa bikin gue jadi sebodoh ini, kan? Ketawain aja deh. Gue suka ketawa lo. Manis." Gian tersenyum tulus. Ia mengelus pipi Aileen penuh sayang, "Hari ini gue ke sini mau sekalian pamit sama lo. Gue nggak pengen pergi, gue pengen selalu di samping lo dan juga gue pengen waktu lo buka mata nanti, gue jadi orang pertama yang lo lihat. Tapi gue udah janji sama Papa. Dia orang yang bantu gue buat nyari lo waktu itu. Jadi, jangan larang gue oke?"
"Gue bakal balik secepet mungkin biar lo nggak bisa deket-deket sama cowok lain. Dan jangan harap lo bisa lari dari gue walaupun kita ada di jarak yang lumayan jauh. Karena sejauh apapun itu, gue bakal ngawasin lo, Aileen Claretta." Gian berdiri dari duduknya, "Jangan makan mie ayam terlalu banyak. Jangan pernah nangis kalo lo nggak mau gue langsung pulang buat nikahin lo."
"Dan yang terakhir, tunggu gue dan jangan pernah suka sama laki-laki selain gue. Kalo sampe itu terjadi, gue bakal langsung cari cara biar laki-laki itu nggak bisa lagi deket-deket sama lo." Gian menutup kalimatnya dengan mengecup kening Aileen dalam waktu yang lama.
"Sampai jumpa lagi, gadis bodoh," ucap Gian sebelum dia benar-benar pergi meninggalkan ruangan tersebut.
Gian tidak tau bahwa seperginya dia, air mata menetes menyusuri pipi Aileen yang saat ini tengah tidak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Brokenheart Syndrome [END]
Novela JuvenilAileen Claretta. Seorang gadis yang menderita Brokenheart Syndrome sejak ia berumur empat belas tahun. Tak ada satu pun yang tau tentang itu. Aileen menyimpan semua sendiri. Terkadang, ia hanya membagi hal tersebut pada cahaya bulan yang seringkali...