Lubna's PoV
"Aghie," panggilku pada cowok dengan mata yang tidak berhenti melirik kesana-kemari. Siapa lagi kalau bukan Aghie, kan tadi aku juga memang memanggilnya Aghie.
"Aghie," ulangku karena merasa terabaikan. Rombongan dari sekolah kami sudah memasuki gedung seminar, aku khawatir kami akan tertinggal.
Karena masih tidak direspons, aku menyiku perutnya yang setinggi dadaku. Iya, Aghie memang jangkung. Padahal aku sudah tergolong tinggi diantara teman-temanku, 155 sentimeter kan sudah lumayan. "Aghie!!!"
"Berisik!" umpatnya sambil mundur selangkah. Antara refleks atau sedang menahan sakit, jujur saja sikuku lancip seperti sudut 30 derajat.
"Kita ketinggalan tuh!" omelku dengan nada ditinggikan, kan harusnya aku yang marah, bukannya dia.
"Yaudah, kamu gabung aja dulu sana!" usirnya. "Gitu aja susah amat."
Apa baru saja Aghie memanahku tepat di relung hati? Kenapa tiba-tiba sakit sekali rasanya diusir oleh kakak kelasku itu.
"Ketemuan sama mantannya bisa nanti aja nggak sih?! Prioritasnya dong!!! Kesini mau ngapain???" bentakku sambil menjejakkan kaki lantas bergegas pergi——menyusul rombongan sekolahku masuk ke dalam gedung.
Aku tidak tahu reaksi seperti apa yang muncul di wajah Aghie saat aku mengucapkan kata mantan. Tapi, yang jelas aku mendengar decihannya yang menandakan aku memang mengganggunya. Untuk sesaat, aku benar-benar lupa kalau Aghie adalah kakak kelas yang mana harus lebih ada etika dan sopan santun bagiku untuk berbicara dengannya.
Aku mendapat kursi tepat disamping Anika——anak jurnalistik dari kelas 10 IPA 2. "Hai, Luna!" sapanya.
"Hai, Ka." Aku tersenyum dan memilih untuk tidak membenarkan sapaan Anika yang salah. Namaku Lubna, atau juga bisa dipanggil Una, tapi kalau memang Anika ingin memanggilku Luna, tidak masalah. Asal tidak dipanggil Kingkong atau Kudanil, aku tidak keberatan.
"Oh iya, Lun. Gue boleh tukar duduk nggak?" tanya Anika.
"Emang kenapa?"
Anika melirik pada orang yang duduk di depannya. Seorang gadis yang berleher jenjang membuat Anika yang mungil tidak dapat melihat ke panggung. Gadis itu menutupi pandangan Anika. Sedangkan, gadis yang duduk di kursi depanku tidak terlalu tinggi.
Anika nyengir, aku mengangguk. Kami bertukar tempat.
Tapi, oh tidak!!!
Sebelumnya, ternyata Anika duduk di sebelah Kak Jein. Iya, prince charming milik Aza itu. Sebuah ide gila mendadak muncul di kepalaku.
Aku mengeluarkan ponsel dari saku, membuka kamera depan untuk mengambil gambar. Aku mengambil fotoku sendiri, tapi dengan sengaja, aku menepi perlahan agar sosok Kak Jein terlihat satu bingkai denganku. Foto itu kukirimkan pada Aza dengan pesan, "Ada tikungan, boleh belok nggak nih?"
"Ehem!" Dehaman itu membuatku terkejut karena keluar dari mulut Kak Jein.
"Tidak sopan mengambil gambar orang lain secara diam-diam," ujarnya yang membuatku kikuk.
"Eh, saya cuman selfie kok, Kak." Sekarang akulah yang nyengir karena tertangkap basah.
"Oh, yaudah kalau gitu. Aku kira secret admirer." Kak Jein mengangguk pelan, tangannya dilipat di depan dada, punggung kokohnya disandarkan ke kursi yang didudukinya.
"Enggak kok, Kak." Aku berbohong!
"Perwakilan dari ekskul apa? Yang jelas pasti bukan jurnalistik 'kan? Aku nggak pernah lihat kamu di klub soalnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Us
Teen FictionTujuh puluh lima persen orang yang mengetahui persahabatan antara Aza dan Una merasa bingung. Kenapa dan bagaimana bisa seorang Oxana Zada alias Aza yang hobinya rebahan, corat-coret buku, dan ngopi itu bisa bersahabat dengan Lubna Fairuzia alias Un...