Bagian 18

59 13 3
                                    

Lubna's PoV

Headphone yang tersambung dengan Ipod itu memutarkan lagu yang merasuk ke dalam kepalaku. Baru-baru ini aku mendengarkan genre metal. Jangan lupa dengan posisiku meringkuk memeluk buku diatas meja perpustakaan. Aku menyendiri, mengambil posisi dimana Aza tidak akan menyadari keanehanku.

Sebenarnya pun, hari ini Aza juga aneh. Ia ikut denganku ke perpustakaan, lalu ia membaca buku, parahnya lagi buku yang ia baca bukanlah buku karya Jein. Bagaimanapun, aku bangga karena dia mau belajar.

Aku berjingkat saat volume musik dari Ipod-ku mendadak mengeras, kaget. Lebih kaget lagi karena sekarang aku melihat cowok keren yang di dada sebelah kanannya tertempel bed nama Galendra Cakra Buana. "Kak Galen?" kagetku sambil melepaskan headphone.

Belum ada satu detik headphone itu tergeletak di atas meja, Kak Galen sudah mencomotnya. Dia memasang benda itu di kepalanya, maksudku di telinganya yang menempel di kepala——Ya iyalah, kalau menempel di kaki kan seram!

"Selera musik lo kaya gini?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi.

"Hehe, enggak kak. Cuman lagi pengin aja denger yang berisik, biar kontras sama kekacauan otak."

"Boleh duduk?" tanya Kak Galen, kemudian ia mematikan lagu yang terputar dan meletakkan headphone berwarna kuning lemon itu di sebelahnya. Tentu saja, aku mengangguk dan ia pun duduk.

"Lo ngapain disini?" tanyanya.

"Tadinya mau belajar, tapi baru inget kalau aku gajadi ikut olimpiade. Yaudah, duduk aja disini." Aku tersenyum kaku, sekaku kanebo kering yang dijemur berminggu-minggu di musim paceklik.

"Gue tahu, pasti lo nggak serius mau tinggalin lomba itu. Lo pasti masih pengin banget berkompetisi, iya 'kan?" tebak Kak Galen.

"Aku nggak ngerti, Kak. Antara masih pingin lomba dan males bertahan. Aku nggak suka sama Aghie."

"Aghie nggak sepenuhnya salah, Lubna."

"Emang kenapa?"

"Lebih baik lo temuin Fatir dan tanya ke dia, apa yang terjadi sama Aghie belakangan ini." Kak Galen berdiri, tersenyum, dan mengambil langkah pergi.

"Eh, Kak!" tahanku yang menyebabkan ia berbalik dan menanyakan, "Apa?"

"Akhir-akhir ini, PunahKawan jarang jalan berempat, kenapa?"

Kak Galen tersenyum miring, "Nanti gue kasih tahu kalau lo udah dapet jawaban dari Fatir."

"Oke," jawabku singkat.

Baru dua langkah Kak Galen melangkah kembali meninggalkanku, ia berbalik lagi. "Itu temen lo 'kan?" tanyanya sambil menunjuk ke arah Aza yang sedang mencoba memahami isi buku yang dia baca.

Tidak menjawab dengan lisan, aku cuma mengangguk.

Dan, sungguh diluar dugaan, sebelum Kak Galen benar-benar pergi dari hadapanku, dia mengatakan satu kata yang membuatku ingin tertawa. "Cantik."

Apa maksudnya Aza cantik?

Memang sih, Aza itu cantik. Tapi kalau cowok tertampan seangkatan kelas 12 yang memujinya cantik, bukankah itu artinya Aza sangat amat cantik sekali dengan kecantikan yang luar biasa? Wah, gila!!!

Aza kamu menang!

***

"Silakan Velvet lattenya!" ucap seorang pelayan yang baru saja mendaratkan minuman dengan paduan warna merah, putih, dan coklat ke atas meja di hadapanku.

"Makasih, Kak," balasku sambil tersenyum.

Di depanku, sudah ada Kak Fatir dengan segelas Machiatto latte bertopping float. "Tumben lo ajak gue ketemuan."

"Iya, ada yang mau aku tanyain."

"Kenapa, Na?" Kak Fatir mendadak khawatir.

"Enggak penting-penting amat sih, Kak. Tapi, aku rasa aku perlu tau ini."

Mimik wajah Kak Fatir berubah lebih santai. "Oh, yaudah apa?"

"Ada sesuatu yang terjadi sama Aghie ya?"

"Gue nggak tahu, mungkin ada masalah sama Wulan." Kak Fatir menggelengkan kepalanya, lalu mengangkat gelas minumannya. Ia menyesap minuman itu dengan tingkah sedikit gugup, aku jadi merasa ada yang aneh.

Aku mengangguk kecil sebagai respons atas pernyataannya. Tiba-tiba, terlintas di pikiranku untuk menanyakan tentang Punah Kawan padanya. "Oh iya, Kak. PunahKawan sekarang jarang jalan bareng ya? Kenapa?"

"Oh, itu. Ya karena si Semar ilang-ilangan mulu." Kak Fatir mendengkus sebal. Semar yang dimaksudnya adalah Aghie. "Dia malah gabung sama anak-anak Jackson. Tau sendiri lah biadabnya anak-anak itu."

"Oh ya, bentar. Kenapa sih Aghie itu dipanggil Semar?" Pertanyaanku kini malah lebih fokus pada julukan Aghie ketimbang mengenai Jackson.

"Gini nih, kita kan berempat. Tahu 'kan ada tokoh pewayangan Punakawan? Itu kan juga berempat. Nah, Si Aghie itu kita julukin Semar karena dia yang smart——cerdas, kalo Galen kita julukin Gareng karena Ganteng, gak nyambung sih, tapi sambung-sambungin aja lah! Nah kalo gue dijulukin Petruk karena panggilan gue Patrick. Nah terakhir si Bagus dijulukin Bagong juga gegara namanya mirip-mirip, padahal ya enggak juga sih. Haha."

"Haha, aneh banget filosofinya. Tapi yaudahlah, toh nggak jelek juga."

"Lubna, jangan senyum!" ujar Kak Fatir membuatku refleks mendatarkan wajah, ada serangan panik mendadak. "Gue takut ada orang lain yang suka sama lo," lanjutnya.

Well, sekarang aku benar-benar panik. Aku merasa ada yang tidak beres, sangat tidak beres. Apalagi, tatapan Kak Fatir mulai tampak seperti berandalan pinggir jalan yang suka bersiul menggoda gadis yang lewat di depannya.

"Maksud Kak Fatir gimana?" tanyaku setelah berupaya menelan ludah bulat-bulat.

"Gue seneng banget waktu lo manggil gue Fatir. Orang-orang, kalo manggil gue selalu Patrick. Gue nggak suka, kenapa coba gue disamain sama Patrick yang konyol itu? Mana bego lagi."

"Terus?"

"Karena itu gue jadi suka sama lo. Dan gue gak mau lo deket sama siapapun, termasuk Semar." Kak Fatir tersenyum miring, ini sungguh mengerikan.

Aku berdiri, mengabaikan Velvet latte yang bahkan belum sempat kucicipi. "Permisi, Kak. Aku baru inget kalau ada acara. Aku duluan."

Tidak seperti perkiraanku yang mana aku bisa pergi dengan mudah. Kak Fatir menahan lenganku. Siapapun tolong aku!

Huhu!!!

[...]

Unpredictable UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang