Bagian 3

261 34 3
                                    

Aza POV.

Aku menggeliat, terbangun dari tidur di jam istirahat yang cukup panjang, membuka mata dengan sempurna.

Jam berapa sekarang?

"Lah, Princess kok udah bangun?" Dapa berjalan menghampiriku, dengan jajanan di kantong plastiknya.

"Paan sih, Una mana?" tanyaku begitu sadar Una tidak berada di belakangnya.

"Masih ada urusan sama sepupu lo,"

"Sepupu gue? Meera?"

"Kak Meera itu kakak kandung lo, sat,"

Aku melayangkan bantal ke wajah Dapa, "Lo manggil gue apa tadi!?"

"Say.., Sayang maksud gue, lo sensi amat sih.. lagi dapet ya?"

"Diem lo!"

Dapa langsung menutup mulutnya rapat-rapat, duduk di kursi depanku, meletakkan plastik jajanan di atas mejaku.

"Jadi, sama siapa Una sekarang?"

"Kak Aghie,"

"Aghie?? sejak kapan gue punya sepupu namanya Aghie??"

Aghie.. tidak ada nama Aghie yang terdaftar sebagai sepupuku.

"Kebanyakan tidur ya jadinya begini, nama saudara sendiri nggak inget,"

"Dih, bodo amat,"

"Ghifari Al-Qarni," kata Dapa dengan sedikit mengingat.

"Oh, Ari..."

"ARI!?"

Sekarang aku ingat, seorang Ari—begitu keluargaku memanggilnya, yang sempat menjadi musuh bebuyutan kakakku, Meera, karena prestasi yang ia dapat. Mereka berdua satu kelas, nilai mereka selalunya hanya selisih satu angka.

"dia ngapain Una!?"

"Nggak di apa-apain, eh tapi nggak tau deh, soalnya gue disuruh ke kelas duluan, ngasihin pesenan lo,"

"Awas aja kalau tu anak ngapa-ngapain Una. Gua kasih tau ke Bokapnya siap jadi sate itu anak, bukannya belajar malah mainan cewek. Ck, kan, jiwa suudzon gue keluar! Gara-gara lo ah, Dap!!"

Dapa mendelik, "Kok jadi gue, njir? gue cuma ngasih tau ke elo aja karena lo nanya!"

Aku menatap Dapa sinis, menyuruhnya diam dan setuju saja dengan ucapanku.

"Iya-iya, cewek selalu benar."

Setelah itu Dapa diam, sibuk menyantap roti panggangnya sementara aku meminum yogurt rasa pisang milik Dapa, sambil sesekali membuka hp, membalas chat keluarga yang isinya selalu membahas tentang pelajaran, entah itu kakakku atau adikku.

"Aja," panggil Dapa.

"Manggil nama yang bener, gue panggil lo Rara mau?"

"Aza," ralatnya sambil menatapku takut.

"Hm?"

"Lo nggak bosen gitu sama kehidupan lo? Gue rasa nih ya.. kehidupan lo kurang warna warni dan selalu datar banget, isinya hari-hari lo tuh cuman rebahan, enggak ada hikmah dan pelajaran buat lo ambil gitu,"

"Maksud lo?"

"Lo tuh harusnya selagi berteman sama Nana, lo berubah dikit gitu, lebih rajin kek.. atau naikin nilai lo yang bener-bener parah banget, lebih parah dari pada gue,"

Aku mengangkat kepala, menatap Dapa dengan tatapan bingung, "Lo pengen gue berubah?"

"Ya.. gimana ya.."

Unpredictable UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang