Bagian 28

65 8 5
                                        

Lubna's PoV

Aza
Online
| Sialan lo Na!!

Aku menghela napas setengah pilu, kasihan dengan Aza sebenarnya. Tapi, aku memang benar-benar sibuk. Bahkan, buat membuka ponsel aja aku harus diam-diam dibalik buku. Aghie terus memantauku.

Kalau dipikir-pikir ulang, aku memang jahat. Aku memang egois. Tapi, aku menikmatinya. Jadi, bagaimana?

Belakangan aku senang karena Aghie selalu antar-jemput, aku sering belajar di rumahnya, sebaliknya dia juga sering belajar di rumahku, kami menghabiskan banyak waktu bersama. Aghie yang sekarang berbeda dari saat awal kami bertemu atau saat awal aku masuk kelas olimpiade.

"Kamu ngelamun?" tanya Aghie ketika aku memandang kosong ke arah hoodie putih yang ia kenakan lebih dari dua puluh detik. Saat itu aku sedang menghayati pesan terakhir Aza, aku bisa mendengar nada bicaranya lewat tulisan. Jarang sekali Aza melontarkan klausa itu, meskipun sebenarnya kali ini aku memang sialan.

"Eh?" Aku tersadar. "Enggak kok. Cuma ngantuk."

"Saya tahu kok kalo kamu mainin ponsel dari tadi. Ada yang penting? Ada masalah?" tanya Aghie lembut. Kupikir ketika serius belajar ia akan marah kalau aku membuka ponsel, ternyata tidak. Dia malah bersikap perhatian atas mimik mukaku yang berubah perlahan.

"Cuma pesan dari Aza."

"Sialan lo Na!!... Sialan lo Na!!... Sialan—"

Aku menggeleng, buru-buru menghilangkan ingatan soal pesan Aza. Mengumpulkan lagi serpihan fokusku yang sudah hancur.

"Telepon aja!" suruh Aghie.

"Aku? Telepon Aza?" tanyaku sambil menunjuk diri sendiri yang kemudian mendapati anggukan dari Aghie. "Ngapain coba?!"

"Yaudah sih kalau nggak mau." Aghie dengan senyumnya kembali membolak-balik catatan di buku.

***

"Assalamu'alaikum, Zi pulang," ucapku begitu menutup pintu utama rumah setelah pulang dari belajar bersama Aghie.

"Ibuk bingung, Zi!" Ibu menyambutku ke ruang tamu.

"Kenapa, Buk?"

"Ibuk seneng kamu sekarang rajin belajar, bawa temen belajar ke rumah, bawaannya semangat terus kalo udah di depan buku. Tapi, Ibuk lihat kamu makin kesini makin kusem, matanya kaya panda, bangun telat gara-gara tidurnya kemaleman, jarang olahraga. Ibuk bingung harus seneng atau susah kalo kamu belajar sekeras ini, Sayang!"

Aku mengambil ponsel dari dalam saku, mengaktifkannya, dan cepat-cepar membuka fitur kamera depan. Kulihat pantulan diriku didepannya, sosok Lubna yang menyedihkan terpampang nyata.

"Zi masuk dulu ya, Buk. Mau mandi sama ganti baju biar seger." Aku tersenyum setengah hati.

Ibu berjalan mendekat, merangkulku, kemudian tangannya bergerak naik ke puncak kepala, beliau mengusapnya. "Ibuk seneng kamu semangat belajar, tapi jangan sampe sakit ya, Sayang!"

Aku menoleh, mencium pipi ibu yang tepat disebelahku, "Iya, Buuukkk."

Tak lama kemudian akhirnya aku sudah duduk manis di ranjangku. Sudah harum dan lebih bersih karena aroma sabun mandi yang menyegarkan. Entah kenapa, aku memikirkan soal Aza lagi. Aku tidak membalas pesannya, tidak tahu harus menjawab apa.

Dulu, tujuanku berteman dengan Aza kan memang supaya bisa dekat dengan Aghie. Sekarang, saat akhirnya Aghie sudah sangat dekat denganku, bukannya tidak papa ya kalau aku meninggalkan Aza? Aza kan cuma sarana pedekateku. Lagi pula, selain bisa dekat dengan Aghie rasanya tidak ada manfaat lainnya aku bersahabat dengan cewek pemalas itu kan?

Unpredictable UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang