Lubna's PoV
Jam sekolah sudah usai tujuh menit yang lalu, sekarang aku sedang berjalan menuju ruang ekskul olimpiade dengan penuh keraguan. Anya mencolek bahuku dari belakang, siswi kelas sebelah itu adalah perwakilan olimpiade biologi. "Una udah sembuh?"
"Gue nggak sakit, Nya."
"Semalem Bu Umi bilang mau ajak anak-anak olim buat jenguk lo, katanya sakit. Tapi, perasaan gue tuh tiap hari ketemu lo kaya sehat-sehat aja. Makanya di grup pada bahas lo sakit apa," jelas Anya yang membuatku nyengir.
Semenjak aku memutuskan keluar dari tim olimpiade, aku memang dengan sengaja membisukan grup whatsapp olimpiade. Kupikir mereka membahas perihal lomba saja, ternyata aku jadi salah satu topik yang populer disana. Aduh, jadi malu.
"Gara-gara si Aghie ini mah, dia laporin gue ke Bu Umi kalo gue sakit, padahal enggak sama sekali. Mana dia bilangnya gue sakit cacar air lagi, rese banget 'kan?" ocehku sambil membayangkan wajah Aghie yang menyebalkan itu.
"Oalah, cuma akal-akalannya Kak Aghie? Tapi, kalo beneran cacar air nih ya, masa kita mau diajakin jenguk lo? Jadi cacar berjama'ah dong yang belum pernah kena? Hahahaha, Bu Umi gimana sih?!" Anya terpingkal sendiri, ya, benar-benar sendiri karena aku cuma tersenyum miring disampingnya.
"Eh, bentar deh, Na! Lo panggil Kak Aghie nggak pake 'Kak'? Nggak sopan tahu!"
"Aghie sendiri yang minta," jawabku cepat.
Anya tampak berpikir sebentar, seperti ingin bertanya tapi tidak jadi. Keheningan berlangsung setelah itu hingga kami sampai di ruang olimpiade.
"Loh, Na?"
"Lubna?"
"Eh, Una?"
"Nana?"
"Udah sembuh, Un?"
"Lubna udah sembuh?"
Beberapa siswa kelas olimpiade terperangah karena kedatanganku, sepertinya sih sama dengan si Anya tadi, mengira aku benar-benar sakit.
Baru saja aku membuka mulut untuk memberi klarifikasi, namun disela oleh suara berat dari meja regu astronomi. Siapa lagi kalau bukan si Pembawa Kayu Bakar Ghifari Al-Qarni?
"Saya salah sampein ke Bu Umi, Una bukan sakit cacar air. Cuma sakit jiwa." Aghie berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari lembar-lembar soal di atas meja.
Tawa kecil bersahutan menyapa telingaku. Aku cuma nyengir dan buru-buru bergabung di meja yang sudah dihuni cowok itu. Kubanting ranselku dengan hati-hati, intinya cuma mau menarik perhatian Aghie dari puluhan soal astronomi. "Kamu tuh yang sakit jiwa!"
Berhasil, Aghie mengerling ke arahku. Walau hanya sedetik dan langsung fokus kembali pada pekerjaannya. "Sudah saya duga, kamu pasti datang."
"Saya akan selesaikan lomba ini, lalu urusan kita selesai." Aku duduk di kursi dan mengeluarkan sebuah ensiklopedia astronomi. Well, buku ini sangat tebal dan tentunya berat. Padahal, yang sedang kubawa ini hanya bagian 1 dari 34 bagian yang ada.
"Urusan apa?" tanya Aghie bingung, atau bisa jadi pura-pura bingung.
"Saya akan bantu kamu menang supaya orang tua kamu percaya lagi sama kamu, kamu bantu saya menang supaya saya juga bisa banggain orang tua saya. Setelah itu, semuanya selesai."
"Ck!" Aghie meniup wajahnya sendiri, "Galen ngomongin apa aja soal saya?"
"Banyak." Aku menjulurkan lidah, merasa menang karena tahu seluk beluk kehidupan Aghie yang mungkin dirahasiakan.
"Bener-bener nggak bisa disuruh jaga rahasia si Galen!" omel Aghie lirih.
"Ayo belajar, kita harus menang!" seruku pada Aghie dengan niat menyemangati, namun siapa sangka kalau cowok itu justru membalasnya dengan tatapan mendelik.
![](https://img.wattpad.com/cover/219824937-288-k304752.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Us
Teen FictionTujuh puluh lima persen orang yang mengetahui persahabatan antara Aza dan Una merasa bingung. Kenapa dan bagaimana bisa seorang Oxana Zada alias Aza yang hobinya rebahan, corat-coret buku, dan ngopi itu bisa bersahabat dengan Lubna Fairuzia alias Un...