Lubna's PoV
"Lubna, lo mau nggak jadi pacar gue?" tanya Kak Fatir yang membuat jantungku mencelos keluar dari rongganya.
Apa baru saja aku ditembak olehnya? Harusnya jomlowati sepertiku senang dong ditembak oleh senior, sayangnya aku tidak menyukainya. Bukannya sombong atau apa, tapi aku sama sekali tidak pernah membayangkan kalau justru temannya Aghie-lah yang menyukaiku. Aku kan maunya Aghie.
Eh, tidak deh!
Aku pun tidak menyukai Aghie lagi. Sejak kemarin kan aku sudah mendeklarasikan kemerdekaan kalau aku tidak menyukai cowok itu lagi.
Kembali ke topik, sekarang aku benar-benar ketakutan. "Maaf, Kak. Tapi aku harus pergi dulu."
"Lubnaa!!!" Kak Fatir mendelik ke arahku. "Lo harus mau jadi pacar gue!"
Napasku mulai tidak karuan, mataku bergerak cepat menyusuri seisi kafe. Sangat beruntung ketika ternyata sosok pelayan sedang memperhatikanku. Dengan tatapan memohon, aku mengirimkan sinyal-sinyal minta pertolongan.
"Maaf jika saya ikut campur. Tapi, saya rasa Anda tidak sopan." Pelayan yang diatas celemek cokelat susunya itu terlekat nama Albi itu menurunkan paksa tangan Kak Fatir yang barusan mencengkeram lenganku.
"Lo yang nggak sopan, gue ini pelanggan."
Kak Albi memberikan isyarat supaya aku menepi, ia memutar lengan Kak Fatir ke belakang, terdengar rintihan kecil yang diiringi umpatan. Selanjutnya, Kak Albi mendorong Kak Fatir keluar kafe. Mereka beradu mulut di luaran kafe, tak jarang Kak Fatir melayangkan pukulan, namun hebatnya selalu bisa ditangkis oleh Kak Albi. Perlu tiga menit hingga akhirnya Kak Fatir pergi.
Kak Albi masuk kembali ke dalam kafe setelah mengutak-atik ponselnya sebentar, aku memberinya puluhan kali terima kasih. "Kami lebih baik kehilangan satu pelanggan biadab daripada membiarkannya memperlakukan Anda tanpa adab," katanya. Dan wow! Aku salut.
"Kamu Lubna?" tanyanya kemudian.
"Ah, iya. Kok Kakak bisa tahu?" tanyaku dengan sejuta tanda tanya. Eum, kebanyakan ya? Yaudah satu tanda tanya aja.
"Gue Albi, Galen minta gue buat awasin lo selama ngobrol sama Fat...Fatah atau siapa tadi." Kak Albi mengubah pembicaraan menjadi lebih santai.
"Fatir." Aku membenarkannya dan ia tersenyum, "Itu maksud gue."
"Kakak siapanya Kak Galen?" tanyaku.
"Bukan siapa-siapanya sih, cuma dia sering kesini aja sama temen-temennya itu, termasuk si Fatir."
Mungkin ini alasannya kenapa Kak Galen memintaku bertemu Kak Fatir di tempat ini, ia sudah menyiapkan ajudannya. Haha. "Aku jadi nggak berani pulang, takut Kak Fatir tiba-tiba nyegat di tengah jalan."
"Eum, tenang. Sebentar lagi kayanya temen Galen datang, gue baru aja ngirim pesan."
"Makasih banget ya, Kak. Aku gatau bales kebaikan Kakak gimana."
"Bisa kok, mau tahu caranya?"
"Hah, gimana?" tanyaku penasaran.
"Velvet lattenya diminum, gue udah capek ngeracik, lo juga udah bayar, masa ditelantarin gitu aja. Mubazir."
"Oh, syaratnya gampang banget." Aku terkekeh lantas segera mengambil minumanku di meja, tak lupa kulengserkan pantatku dulu ke atas kursi sebelumnya.
Glek... Glek...
"Habiis," seruku sambil tersenyum. "Enak."
Kak Albi juga mengulas senyumnya, lalu ia menyipitkan matanya untuk melihat sesuatu di luar kafe. "Kalau nggak salah, itu motor temennya Galen."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Us
Dla nastolatkówTujuh puluh lima persen orang yang mengetahui persahabatan antara Aza dan Una merasa bingung. Kenapa dan bagaimana bisa seorang Oxana Zada alias Aza yang hobinya rebahan, corat-coret buku, dan ngopi itu bisa bersahabat dengan Lubna Fairuzia alias Un...