Bagian 14

70 14 0
                                    

Lubna's PoV

"Aghie!" sapaku saat aku dan Aghie berpapasan di depan kantin, tapi malangnya cowok itu hanya melirikku sekilas.

"Ada gue, Fatir, sama Bagus juga loh! Lo cuman nyapa si Semar?" protes Kak Galen. Aghie memang tidak berjalan sendiri, dia bersama kawan karibnya itu, PunahKawan. Mungkin aku belum pernah memberitahu ya, jika Aghie punya julukan Semar, aku juga belum tahu kenapa. Mungkin Aza tahu, biar nanti kutanya padanya.

"Maaf Kak Gal, hehe. Siang Kak Galen, Kak Bagus, Kak Fatir."

"Siang, Na." Kak Bagus menjawab, yang lain hanya tersenyum, kecuali Aghie.

"Ayo, jangan buang-buang waktu disini!" Aghie mendorong bahu teman-temannya.

Tiga teman Aghie itu tidak bisa menolak. Mereka berjalan meninggalkanku. Mendadak, aku merasakan ada hal yang aneh. Apa Aghie menghindariku?

Oh tidak!

Oh jangan sampaiii!!!

Apa sih yang salah dariku?

***

Seperti kebiasaan baruku akhir-akhir ini. Sore hari saat senja mempersiapkan diri untuk tampil, aku datang ke rumah Aza. Membawa setumpuk buku fisika.

Karena hanya Lia yang ada di teras rumah, aku menyapanya. "Hei Lia, Aza ada?"

"Kak Zada kayanya lagi mandi. Tapi gak tahu deh mandi beneran atau enggak." Lia mengedikkan bahunya. "Tunggu aja di dalam!" ujarnya.

"Eum, boleh kutunggu di rumah pohonmu nggak?" tanyaku. Hawa-hawa sejuk begini tidak cocok diabaikan begitu saja.

"Boleh, ada Monyet diatas. Hati-hati."

"M..monyet?" dahiku berkerut. Aku terkekeh begitu menyadari bahwa monyet yang dimaksud adalah manusia bernama Danial Arsalan Putra Syahreza yang pastinya sedang mencuri wi-fi. "Dapa ya?"

Lia mengangguk. Kemudian, aku bergegas menuju rumah pohon Lia.

Sepi... Tidak tampak sedang ditunggui oleh seekor monyet seperti yang Lia katakan. Dapa lumayan pintar menjaga kesunyian agar proses penyadapan wi-fi itu tidak ketahuan. Sayangnya, Lia lebih pintar dan tidak bisa dibodohi dengan gampangnya. Buktinya, Lia bisa tahu kalau saat ini Dapa ada di dalam situ.

Eh, tunggu?!

Apa disana ada Dapa?

Artinya, Aza dan Dapa sudah baikan?

Ah, kabar bagus buatku sore ini.

Aku naik tanpa aba-aba. Tidak kusangka, ruangan kecil itu memang tidak sedang ditunggui oleh siapa-siapa. Benar-benar sepi. Terlihat tidak ada makhluk berjenis manusia disini. Pandanganku menyebar, hingga sampailah di titik beberapa kardus berisi buku-buku itu menampakkan sesuatu berbalut kaus kaki. Apalagi kalau bukan kaki? Dan tentu saja, pasti itu kaki Dapa.

Aku mendekat, mengecohnya. Berlagak tidak melihat ada manusia atau monyet disana. Pura-pura berniat mengambil buku di antara kardus-kardus itu, aku berjalan mundur. Sok tidak tahu kalau ada Dapa disitu dan sengaja menginjak punggung kakinya itu.

Hnyaak...

Mampus lo, Dap, hihi...

"Sshh!!! Aw." Suara Dapa tertahan.

Aku menginjaknya semakin kuat, dan oh ya aku belum melepas sepatuku, haha.

"Anj**," umpat Dapa melompat kaget. "Lho, kok lo, Na? Gue kira Dahlia."

"Yaampun Dapa, kok lo bisa disini, sih?! Kaget tahu nggak! Keinjek ya? Sorry..." Aku menampakkan wajah menyesalku.

"Kalo lo Dahlia, udah tamat riwayat gue. Bisa-bisa tempat ini disegel buat gue dan gue nggak bisa internetan gratis disini. Terus pasti gue bakalan susah stalk Pricilia dan jadi orang terprimitif di dunia," ujar Dapa lebay.

"Lo pikir Lia nggak tahu kalau lo ada disini?" tanyaku.

"Enggak lah, kan gue tadi masuknya lompat lewat pager samping."

"Oh berarti Lia emang nggak tahu kalau ada lo disini, soalnya dia bilang yang disini itu monyet, bukan Dapa."

"Lah? Seriusan si Lia tahu? Mana gue dikata monyet lagi!" Dapa mendengus kesal, kemudian panik. "Yah, gimana dong besok-besok kalo tempat ini beneran disegel?"

"Enggak lah, Dap. Gue rasa Lia udah tau kebiasaan lo ini dari lama, tapi dia milih buat diem aja. Buktinya hari ini pun dia nggak ngelabrak lo 'kan?"

"Iya, sih. Hehe... Tapi, mau ditaruh mana muka gue nanti?"

"Ya di kepala lah, Dap! Masa di punggung?!" Aku mendengus.

"Apaan nih rame-rame?" Tiba-tiba Aza bergabung dengan tubuh yang segar.

"Uwahhh, tumben mandi." Aku dan Dapa terkejut kompak.

"Gue setiap hari mandi kaliiii!" kesal Aza, lalu dilanjutnya, "kalo inget."

"Mau ada acara, Za?"

"Rahasia." Aza tersenyum sombong karena berhasil membuat kami kepo.

"Kalian kalau nggak ada kepentingan mending disininya jangan lama-lama. Gue lagi ribet urusan sama Kak Meera."

"Etdah, baru juga sebentar wifi-an-nya, Za!!!" protes Dapa.

"Lah, gue malah baru dateng. Belum apa-apa," tambahku.

"Sumpah ini ribet urusannya, gue nggak mau kalian nanti gue kacangin. Atau kalo lo lagi nungguin Ari, gue kasih alamatnya aja ya, Na. Lo langsung ke rumahnya aja."

Dapa terlihat menghela napas, namun wajahnya memancarkan aura pasrah. Apa ada sesuatu yang terjadi antara Dapa dan Aza tanpa sepengetahuanku?

Sebelum aku mencoba menanyakan hal itu, Aza lebih dulu merebut salah satu buku tulisku dan mencomot pena yang tergeletak sembarangan di lantai rumah pohon. Tak lebih dari sepuluh detik ia mengembalikan bukunya padaku. "Itu alamat Ari. Dah samperin sana!"

"Oya, lo lewat pager samping lagi aja Dap! Lia lagi di depan." Aza memberi tahu. Sedang aku terkikik sendiri, Lia bahkan sudah tahu soal maling wi-fi satu ini.

Dapa mengangguk, kurasa dia tetap saja belum siap untuk bertemu pemilik rumah pohon ini. "Semangat, Ja!" Dapa menepuk kepala Aza dan membuatku memelotot kaget, mereka masih teman kan? Belum lebih dari itu kan? Kenapa tampak romantis buatku? Ah, mungkin karena jomblo makanya aku sensitif dengan perlakuan Dapa pada Aza.

Akhirnya, aku menyetujui saran Aza untuk pergi ke rumah Aghie.

***

Saat sampai di rumah yang alamatnya persis seperti yang dituliskan Aza, aku tersenyum. Pas sekali, ternyata Aghie sedang ada di teras rumah. Aghie, sepasang pria dan wanita dewasa, skateboard, dan api yang menyala. Dua orang dewasa itu memasang wajah tegangnya, sedang Aghie dengan mata yang sembap menatap papan seluncurnya yang sudah separuh hitam itu.

Aku mengurungkan niat untuk bertamu, kurasa ini bukan momen yang pas. Tapi, sepertinya Aghie menyadari keberadaanku, ia mendelik setengah tajam meski tatapannya agak sendu.

Oke, aku pergi!

Aku pulang dengan segudang pertanyaan ada apa.

Ada apa antara Aza dan Dapa?
Ada apa dengan Aghie?
Ada apa hingga papan seluncur Aghie dibiarkan ditelan api?
Ada apa antara Aghie dengan dua orang dewasa tadi?
Ada apa dengan pikiranku yang terus bertanya ada apa padahal seharusnya aku berusaha untuk tidak perlu tahu apa-apa?

Ada apa sih Una?!

[...]

Unpredictable UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang