Bagian 31

70 8 0
                                    

Author's PoV

"Eum, jadi aku harus disini dulu atau balik ke sekolah ya?" tanya Jein dinadakan bingung. Sedangkan yang ditanyai itu mati-matian menahan gelora bahagianya agar tidak tumpah ke muka. Aza nyengir, "Terserah Kakak aja," katanya.

"Dapa bakal kesini lagi 'kan?" tanya Jein lagi.

"Kayanya iya."

Keduanya berdiri kaku, berdampingan dengan suasana yang amat canggung. Hingga kemudian Aza mencoba mencairkannya, "Gimana kalau duduk di rumah pohon sebentar sambil nunggu Dapa? Aku ambilin Kak Jein minum dulu."

"Aku nggak haus kok, nggak usah repot-repot." Jein tersenyum, kemudian ia melangkah lebih dulu menuju rumah pohon. "Kamu mau naik duluan?" tawarnya.

"Enggak, Kakak aja duluan."

Dua puluh detik kemudian, keduanya sudah duduk manis di bibir rumah pohon, menggantungkan kakinya ke udara dan menatap angkasa. "Maafin temen-temenku ya Kak, sampe harus paksa Kakak kesini."

"Jujur aja, aku sebenernya nggak begitu suka bolos. Tapi, mereka bilang darurat. Jadi, ya akhirnya aku ikut mereka." Jein tertawa kecil, mengingat bagaimana wajah Una dan Dapa yang memaksanya turut serta bolos ke rumah Aza. Kalau Una sih memang dapat izin untuk olimpiade, jadi dia tidak akan kena poin BK karena bolos. "Oh iya, beneran kamu mau ke Amerika?"

"Iya." Aza menunduk. Mengingat soal itu selalu membuat moodnya turun seketika.

"Jangan sedih, kalau orang tuamu lakuin itu, mungkin karena mereka tahu kamu akan lebih baik disana. Percaya deh, orang tua kamu pasti punya banyak pertimbangan kenaoa harus mengirim kamu kesana. Pasti bukan asal-asalan aja." Jein menepuk bahu Aza, membuat cewek itu tersedak ludahnya sendiri. Napasnya bahkan berhenti untuk beberapa detik, diikuti dengan mata yang membulat sempurna.

"Angkat tangan Kak Jein! Jangan bikin aku wafat di tempat!!!" batin Aza.

Setelah tangan Jein kembali ke tempatnya semula, Aza dengan lega menghela napasnya. "Iya juga ya."

"Awas Kak, nanti si Aza modus!" teriak Dapa yang tiba-tiba sudah ada dibawah mereka. Cowok itu tersenyum meledek, membuat pipi Aza memerah tanpa aba-aba.

"Dih, kaya jin aja tiba-tiba nongol!" cibir Aza. "Atau lebih tepatnya setan."

"Njir!" Dapa bergabung ke rumah pohon membuat suasana bahagia Aza mendadak rusak.

"Kamu balik ke sekolah kapan, Dap?" tanya Jein pada Dapa.

"Eung, kayanya nggak balik deh, Kak. Paling udah terlanjur diabsen alfa."

"Kayanya aku juga gitu." Tawa Jein meledak begitu saja, maklum ia tidak pernah absen bolos sebelumnya. Menjadi bandel sehari, mungkin tidak masalah.

***

Langit yang sebelumnya biru cerah dengan hiasan awan putih itu lama kelamaan berubah menjingga. Iya, selama itulah kompetisi sains dilakukan tahap demi tahap. Hingga saat ini tibalah pada puncak acara. Apalagi kalau bukan pengumuman kejuaraan?!

Aghie dan Una bergabung bersama seluruh tim olimpiade dari sekolahnya, duduk diatas paving lapangan olahraga, dua puluh meter dari panggung utama.

Singkat cerita, giliran olimpiade astronomi diumumkan. Baik Aghie maupun Una sudah menyiapkan lahir dan batin mereka untuk menerima kekalahan. Apalagi kalau diingat-ingat mereka membuat kesalahan besar sejak pagi, yaitu terlambat.

"Juara Harapan 3 diraih oleh sekolah dengan nomor urut 03 atas nama Alan dan Samudra."
Prok...prok...prok...
"Silakan naik ke panggung. Selanjutnya juara harapan 2 diraih oleh sekolah dengan nomor urut 14 atas nama Saira dan Meilia."
Prok...prok...prok...
"Selanjutnya juara harapan satu diraih oleh sekolah dengan nomor urut 07——"

Unpredictable UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang