Bagian 30

81 10 2
                                    

Lubna's PoV

Aku hanya memandangi pesan dari Aza. Bimbang antara mau membukanya atau tidak. Untuk sementara, sepertinya membisukan notifikasi dan mengarsipkan pesan Aza lebih baik.

Hari demi hariku mulai lancar, maksudku tanpa Aza pun aku masih bisa bahagia. Dapa sering mengajakku ngobrol, tapi aku pun sering mengabaikannya. Selera mengobrolku dengan Dapa jadi ikut menurun juga.

Beruntungnya, semakin kesini aku dan Aghie semakin solid. Kami bahkan jalan berdua kemarin lusa, ke taman baca dan membeli dua cone es krim. Aghie juga mengajakku ke tempat favoritnya, lapangan olahraga kota yang memiliki area khusus bagi para skateboard-er. Oh ya omong-omong Aghie juga mengajakku membeli papan seluncur baru dari hasil tabungannya selama ini. Aku senang sekali.

Dua hari lagi olimpiadeku dilaksanakan. Aku sudah membayangkan mengankat piala di atas panggung bersama partner terbaikku. Ah, ekspektasiku sudah terlalu tinggi.

Siang ini, aku dan Aghie belajar di kafe. Aghie yang mentraktir, jadi aku tidak menolak. "Beberapa Minggu ini kamu nggak ke rumah Aza ya? Kamu kan tukang beresin kamarnya kalau Minggu pagi," tanya Aghie tiba-tiba.

"Eung?" Aku sedikit mendongak, termenung menyambut pertanyaan yang tidak kusangka akan ditanyakan oleh cowok itu.

"Kelihatannya juga jarang main bareng," tambahnya.

"Enggak kok Ghie, nggakpapa." Aku tersenyum sekilas.

"Sore ini kita ke rumahnya Aza ya?! Ajak Dapa sekalian. Saya kangen kue-kue buatan mamanya, sumpah enak banget!" Aghie tersenyum, seperti membayangkan kalau kue-kue itu masuk ke mulutnya dan bermain tebak rasa dengan indera pengecap, lidah. Hmmm, lezat. Aku juga tahu itu.

"Enggak ah! Aku nggak pingin ke rumah Aza." Aku menolaknya dengan halus, membuat tatapan Aghie seolah langsung menghujam pupil mataku.

"Tumben nggak mau," responsnya. "Saya juga kangen usilin Aza. Keseriusan belajar sampe lupa main kesana, padahal rumah Aza itu tempat paling seru. Bisa buat skateboard-an, punya kue-kue terenak, ada Bang Jihan sama Bang Rama yang bisa diajak ngobrol, ada Meera yang galak, Aza yang kocak, sama Dahlia yang bisa disuruh-suruh."

Aku tersenyum simpul menanggapi Aghie, tidak menjawab apapun. Antara malas dan entahlah, tapi Aghie benar, rumah Aza memang seseru itu.

"Hai Kak Aghie!" Mendadak suara itu mengagetkanku, suara Dapa muncul dari arah belakang. Aku menoleh, cowok itu memang menyapa Aghie.

"Hey, Dap! Sama siapa kesini?" tanya Aghie.

"Sendiri. Sengaja mau nemuin Una."

"Mau ketemu gue?" tanyaku memastikan.

"Yup, kalo belum selesai belajarnya, gue tunggu di depan aja. Gakpapa."

"Harus banget ya?" Aku memberi penekanan  pada setiap suku katanya untuk mendapat jawaban yang akurat.

"Iya, Nana! Selesaiin aja belajarnya. Gue kedepan dulu. Misi, Kak!"

Sepuluh detik kemudian, Dapa sudah berada di teras kafe di tempat duduk yang tadi ia tunjuk. Aku memperhatikannya, jarang sekali cowok itu mau bertemu denganku tanpa Aza.

"Kita udahan aja ya belajarnya, jangan terlalu diforsir, takutnya stress dan malah gak maksimal pas olimpiade. Dapa juga kayanya perlu banget sama kamu. Besok hari tenang, nggak usah ngotot belajar terus karena otak juga butuh istirahat. Tinggal doanya aja yang diperbanyak." Aghie tersenyum seraya mengemasi seperangkat alat tulis dan buku kami.

"Okedeh," jawabku diikuti anggukan.

Kami berpisah dua menit kemudian, Aghie berjalan menuju motornya dan aku berjalan menuju Dapa. "Mau ngomongin apa, Dap?" tanyaku to the point.

Unpredictable UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang