Bagian 22

53 11 0
                                    

Lubna's PoV

Jari telunjuk dan jari tengahku bergantian mengetuk bibir bawah, aku sedang dalam mode berpikir meminta bantuan siapa untuk mengantarku pulang. Bapak dan ibuku tidak bisa menjemput karena sejak pagi sibuk membantu menyiapkan acara tetangga nanti malam. Yah, beginilah susahnya kalau hanya punya satu kakak, tapi malah merantau ke kota untuk melanjutkan pendidikannya, jadi tidak bisa antar-jemput adiknya yang sedang gundah gulana 'kan?

"Eh, Luban!" Kak Albi menyapaku.

Aku terkekeh, "Lubna, Kak!"

Kak Albi menggerakkan iris matanya ke sudut kanan, "Oh iya, sorry lupa."

Ya, hanya sebatas sapaan itu saja. Aku tidak tahu mau membicarakan apa, dan kurasa ia juga begitu. Kami kan baru kenal tadi malam. Jadi, aku pamit ke depan sambil melambaikan tangan. Padahal, setelah itu aku hanya duduk di teras kafe dan kembali memikirkan nasibku yang malang.

"Ah, Dapa!"

Otakku langsung menampilkan wajah pemuda pecinta game yang suka menguntit wi-fi di rumah pohon Dahlia. Kenapa aku tidak kepikiran meminta bantuannya untuk antar-jemput saja? Lama-lama, kalau yang antar-jemput Kak Galen kan nggak enak juga, Belum lagi selalu ada tatapan tajam yang mengintimidasi dari penyuka rahasia Kak Galen.

Ih, seram!

Aku mengontak Dapa, memanggilnya lewat ponselku yang kadar baterainya tidak lebih dari jumlah jam dalam satu hari per seratus, maksudku 22%.

Akhirnya, setelah lima detik tersambung, Dapa menjawab, "Apa?"

"Lo kenapa bisik-bisik?"

"Gue di rumah pohon."

"Hah? Meskipun Aza nggak di rumah, lo tetep nyuri wifi, Dap?" Sementara tangan kananku memegang ponsel, tangan kiriku menepuk dahi.

"Hmmm, udah deh! Gausah bahas gue, lo ngapain telepon?"

"Bisa jemput gue nggak?"

"Emang lo dimana?"

"kafe CoC, Dap."

"Buset, jauh bener! Gue aja kesini jalan kaki, Na. Mendingan lo naik———"

Aku tidak tahu selanjutnya Dapa mengatakan apa, karena yang kutahu, sekarang kedua mataku kompak terbuka lebar. Tiba-tiba saja napasku memberat.

"Woi, Na? Lo dengar gue nggak sih? Na!!!"

"Eh, anu, Dap. Itu, em——"

Napasku semakin berantakan ketika dia datang. Dia yang barusan memarkir motornya di depan kafe, berjalan ke arahku dan memberikan sebuah helm. Dia mengatakan, "Gak usah Ge-Er! Saya cuma disuruh Galen buat jemput kamu."

"Jangan sok-sok'an jemput kalau nggak ikhlas!" tolakku. Aku tidak habis pikir kenapa Kak Galen menyuruh Aghie mengantarku pulang.

"Nggak mau?"

"Mau," jawabku galak. Aku sebal jika harus diantar pulang oleh Aghie, tapi akan lebih sebal kalau bertemu Kak Fatir ditengah jalan. Jadi, mau tidak mau, aku harus mau.

Berbeda dari kemarin yang sangat cuek padaku, hari ini Aghie menanyakan banyak hal. Meskipun dengan muka datar.

"Habis ngapain?"

"Eum? Kamu tanya ke saya?" jawabku sambil melihatnya dari spion, pandangan kami bertemu. Aku tersentak dan langsung menununduk.

"Tanya sama penumpang lah."

Mendengar jawabannya, aku mendecih. "Habis belajar bareng Aza."

"Kenapa kamu tiba-tiba dekat sama Galen?"

Unpredictable UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang