Bagian 10

108 19 0
                                    

Lubna's PoV

Diatas trotoar menuju sekolah pagi ini, sesuatu memberatkan pikiranku. Semua perkataan Kak Fatir kemarin sore melekat sempurna di otakku.

"Lo harus cari orang lain, Lub. Aghie bisa jadi biang kekalahan kalau lo kekeuh satu tim sama dia." Kak Fatir menghela napasnya.

"Kenapa gitu?"

"Lo pasti pernah dengar soal Aghie yang nyaris lolos ke OSN--Olimpiade Sains Nasional--'kan?"

"Iya, saya pikir hampir semua orang di sekolah tahu soal itu."

"Hey, just chill! Lo nggak usah terlalu kaku ngobrol sama gue. Maksud gue, lo nggak perlu pake sapaan 'saya'. Gue jadi ngerasa tua." Kak Fatir tersenyum simpul, lalu melanjutkan bicaranya setelah aku membalas senyumnya. "Gue rasa lo juga tahu soal Wulan sama Aghie 'kan?"

"Eum, enggak juga sih. Say-aku cuma tahu kalau mereka sebatas mantan aja. Nggak tahu apa-apa lagi soal mereka."

"Oke, biar gue kasih tahu. Aghie emang dekat sama Wulan sejak SMP. Mereka sering ikut olimpiade IPA bareng. Bahkan, sampai sekarang juga masih suka olimpiade bareng.

"Waktu kelas 10, Aghie tiap hari antar-jemput Wulan di sekolahnya. Waktu kelas 11 alias tahun lalu, disitu gue merasa Aghie udah dibutain sama Wulan. Aghie itu sebenarnya lolos ke OSN, tapi demi Wulan, Aghie mundur. Bego 'kan?" Kak Fatir mendengus.

"Maksudnya?" tanyaku dengan nada mulai tertarik kemana arah pembicaraan ini berlabuh.

"Di olimpiade yang mereka ikutin itu, dari setiap provinsi bakal diambil 3 besar buat jadi wakil ke nasional. Aghie adalah salah satunya, karena dia juara 2. Tapi, waktu Wulan tahu itu. Wulan marah sama Aghie. Cewek itu ada di posisi juara empat, dia marah karena nggak bisa maju ke tingkat nasional. Dia nangis-nangis mulu, sok stress, dan akhirnya bikin Aghie terpaksa ngundurin diri karena nggak tega melihat Wulan yang depresi itu.

"Aghie sendiri sebenarnya juga depresi karena OSN adalah salah satu mimpinya. Tapi, yang namanya bucin ya tetap bucin. Setelah dengan berat hati dia ambil keputusan itu, Aghie main skateboard buat pelampiasan. Gatau gimana ceritanya, tiba-tiba di rumah sakit. Katanya tulang lengan atas sama tulang pengumpilnya retak. Sejak saat itu, si Aghie dilarang main skateboard lagi sama orang tuanya. Dia selalu main di rumah Meera biar nggak ketahuan sama orang tuanya. Pokoknya hidup dia makin tertekan." Lagi-lagi napas Kak Fatir terhela berat.

Rumah Kak Meera? Berarti rumah Aza dong?!

"Terus Kakak maunya aku ngapain?" tanyaku.

"Setelah gue tahu kalau lo sama Aghie ikut lomba, gue iseng buat cari tahu soal si Wulan. You know what? Dia juga ikut lomba itu. Nah, di babak kedua yang ngejawab soal isian dan uraian itu, gue rasa lo aja yang harus maju. Gue takut Wulan mempengaruhi Aghie lagi dan akhirnya Aghie nyerah gitu aja. Gue nggak mau kalau Aghie yang maju ke babak 2. Gue khawatir Aghie bakal sengaja jawab soalnya dengan jawaban salah."

"Ya elah, Kak Fatir. Yakin deh, Aghie nggak akan lakuin itu. Jangan suudzan dulu!" bantahku.

"Ya kalau kalian tetep mau ikut olimpiade, mending fisika aja. Hindarin Wulan!" titah Kak Fatir sambil mengangkat gelas machiatto latte-nya.

Unpredictable UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang