Bagian 8

111 19 0
                                    

Lubna's PoV

Aku terkikik sendirian melihat kedua bocah bernama Aza dan Dapa memainkan aktingnya di kelas. Dapa menyekap Aza dan membuatnya meninggal di tempat, siapa yang percaya kalau itu benar-benar terjadi coba?

"Heh, udah udah!" kataku sambil memegangi perut yang terasa geli karena kerecehan mereka.

Dapa mengangkat kedua tangannya sambil nyengir, "Habis nih bocah ngomongin ajal duluan, sih! Masa gue dikatain sakit kronis, gue kan masih pengin hidup, pengin hidup sama Pricilia tepatnya."

"Emang sebelumnya kalian ngobrolin apaan?" tanyaku setelah tawaku mereda.

"Soal masa depannya Aza tuh! Niat gue kan baik mau bantu dia biar pinter. Lo pasti sependapat sama gue, dia itu anak pungut apa gimana sih kok nggak ada gen-gen jeniusnya gitu. Lo tahu kan satu keluarganya kaya apa? Semuanya pinter, Na."

Aku menghela napas, tersenyum sekilas. "Aza itu pinter tahu, Dap! Pinter tidur, haha."

Aku berjongkok, menepuk pipi Aza yang masih dalam mode pura-pura matinya. "Za, bangun!"

Tidak ada respons dari Aza, aku refleks membulatkan mata, dan mendongak untuk menatap Dapa yang masih berdiri. "Dap, mati, Dap!" candaku dengan mimik muka serius.

"Hah? Enggak, Na!" Dapa mulai panik. "Eh, gimana ini?" Cowok itu mengguncangkan bahu Aza sekuat tenaga. "Zaaa, Azaaa!!! Bangun, Zaaa! Gue cuma bercanda."

Dapa kelabakan, bingung setengah mati.

Oke, jadi Dapa bingung setengah mati dan Aza pura-pura mati.

Saat Dapa mulai lebih ganas, ia mengguncangkan bahu Aza seakan tubuh Aza adalah botol milkshake, aku rasa Aza akan sangat pusing kalau dia hanya bersandiwara. Tapi, Aza sama sekali tak bergerak. Professional actrees.

Beberapa teman sekelas melirik heran pada kami, kami adalah tiga orang yang merasa terbuang di kelas. Dijauhi oleh anak-anak high class seperti mereka, kami tidak masalah. Tapi hei, kali ini mereka benar-benar keterlaluan karena cuma menonton. Aza sekarat. Atau mungkin mereka sependapat denganku kalau berpikir Aza cuma berpura-pura.

Dapa berjongkok sambil meletakkkan tangannya di bawah punggung, "Naikin Aza ke punggung gue, Na! Kita bawa dia ke UKS."

Oke, biar kuberi tahu, aku tidak setakut Dapa karena aku masih sangat yakin Aza itu masih bernapas. Diagfragmanya masih bergerak naik turun. Mungkin Dapa hanya kelewat panik sampai tidak dapat melihatnya. Jadi, aku mengangkat tubuh Aza dan sedikit menyeret dan mendorongnya agar bisa naik ke punggung Dapa. Aku jadi ikut bersandiwara.

Saat akhirnya Aza sudah mendarat di punggung Dapa, cowok itu berdiri dan melangkah dengan langkah yang panjang, jalannya pun lebih cepat. "Pelan-pelan, Dap. Gue mual kalau perut gue keguncang," rintih Aza ditutup dengan senyum miringnya.

"Eh, buset!" Dapa berhenti di depan kelas. Melepaskan Aza dari gendongannya. Beruntung aku sigap menopang bahu Aza, sehingga ia tidak terjungkal ke belakang.

"Gue akan ke UKS sendiri, kalian kalo mau ke kelas silakan aja." Aza sudah mulai melek, ia meregangkan badannya sedikit karena mungkin susunan tulangnya berantakan setelah mendapat guncangan dari Dapa.

"Udah gue duga, pasti mau tidur di UKS nih!" tebakku. Aku mendengar saat Aza bilang ia tak lagi diperbolehkan membawa bantal ke sekolah dan berniat ke UKS untuk tidur.

"Lo pikir gue akan biarin?" cegah Dapa. Ia menarik lengan Aza dengan paksa untuk kembali ke kelas. "Ayo dong, Za! Sekolah yang rajin!"

Lagi-lagi aku jadi penonton drama mereka berdua.

Unpredictable UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang