Bagian 9

93 20 0
                                    

Aza POV.

Aku heboh masuk kedalam rumah, melempar tas ke kursi sofa. Dengan sembarang aku melepas dasi sekolah, yang terjadi malah aku tercekik sendiri.

"Kak Meera!!" panggilku sembari terus menaiki tangga ke lantai dua, pergi menuju kamar Meera. Tidak ada jawaban, sampai didepan pintu kamar Meera, aku mengetuk pelan, aku tau Meera tidak suka bunyi ketukan keras. Di ketukan ke tiga aku membuka paksa pintu, dan ternyata tidak dikunci. Aku bisa melihat jelas bagaimana kamar estetiknya tertata rapi bak kamar sang putri di cerita Disney. 

"Jangan berisik!!" teriaknya marah.

"Kak, kak, tadi kata Ari, kak Meera nggak masuk sekolah?" tanyaku kepo, mendekati Meera yang duduk di kursi meja belajar, didepannya ada setumpuk soal-soal tebal bersama kamus-kamus yang tebal-tinggi menjulang.

"Ya, terus kenapa?"

"Kak Meera bolos sekolah?"

"Enggak,"

Aku semakin kepo, "Terus Kak Meera tadi kemana? jelas-jelas kita berdua tadi berangkat bareng sama Kak Rama, kok bisa Kak Meera bolos?"

Meera menatapku sebal, menaruh pensilnya diatas kertas berisi jawaban. "Kenapa memangnya?"

"Nggak sih, cuman tanya aja, Kak Meera nggak sakit, kan?" tanyaku dengan ekspresi kubuat sekhawatir mungkin.

"Enggak,"

"Oh yaudah,"

"Maumu apa sih, Za?" tanya Meera dengan geram, menatapku semakin tajam.

"Ih, Kak Meera kok peka sih, hehehe," aku nyengir, mengeluarkan hp, menunjukkan foto buku.

"Minta uang dong.. Zada mau beli bukunya Kak Jein yang baru,"

Muka Meera berubah menjadi merah padam, mendorong bahuku, menyuruhku keluar dari dalam kamarnya, "Dari pada buat beli buku enggak jelas, mending buat beli buku pelajaran!!" teriaknya emosi.

Pintu kamar Meera dibanting dengan kuat, menghasilkan suara yang lebih keras dari pada suara cemprengnya. "Buku kak Jein bukan sembarang buku ya!! Kali ini ada tote bag sama tanda tangannya!!"

Tidak ada tanggapan, terpaksa aku harus masuk kedalam kamarku sendiri yang berada di sebelah kamar Meera, hanya berjarak satu kamar milik Dahlia.

"Aaahh... berarti harus minta Ayah lagi.." dengusku.

Segera setelah itu aku mengganti baju, karena gerah kuputuskan untuk mandi sekalian, kemudian aku merebahkan tubuhku ke atas kasur, sengaja membuka jendela dengan sedikit lebar agar udara sore masuk kedalam kamar, dari jendela terlihat rumah pohon milik Dahlia yang sering sekali dihuni oleh Dapa. 

Perlahan mataku mulai  terasa berat, menguap berkali-kali, Dahlia yang lewat di depan kamarku berteriak kencang, "Jangan tidur sore!! Kak Zada mau jadi gila!?"

Tapi terlambat, mataku sudah lebih dulu tertutup.

***

"Omaygat! Oemji! O hell-o!!!" Aku berseru dari bawah rumah pohon. Ini pukul 8 malam, dan aku bisa melihat kaki Dapa bergelantung kebawah.

"Dap, Dapa! munculin kepala elo sekarang Dap!" Seruku menaiki anak tangga. Dapa tidak menjawab, aku tau Dapa jelas mendengarnya, karena suaraku sendiri sangat kencang. "Mau gue panggilin Dahlia?!" 

Baru disaat itu Dapa menjawab, "hm?"

"Ih, sumpah ya Dap, lo tau nggak sih gue tadi mimpi apaan?!" pekikku seru.

"gue mimpi ketemu Kak Jein!!" seruku duduk disebelah Dapa, sementara Dapa berkonsentrasi di gamenya. "Hu'um, terus?"

"Gue mimpi di ajak ke perpustakaan kota, masa!! Terus kan, gue diajak beli es krim, kak Jein disitu kayak cogan cogan wattpad!!" aku mengheboh.

Dapa tidak menanggapi, atau lebih tepatnya malas menanggapi. "So sweet banget nggak sih????" 

Aku masih berbunga-bunga, tersenyum dan tertawa persis orang gila. 

"Aza,"

"ya?"

"Sekali gue nawarin ini ke elo, ini nggak bakalan gue nawar ulang," ucap Dapa dengan kata yang membelit-belit.

"Maksudnya?"

"Belajar,"

Aku mengerjap, "Lo kenapa sih, Dap? Dari kemarin elo bilang mau bantuin gue belajar, memang kenapa sih? Lo mau nyuruh gue ikut Olimpiade Olimpiade-an kayak Una? nggak banget ya Dap,"

Dapa meletakkan hpnya, menatapku dengan tatapan serius, "Gue serius Aza."

"Hahahah!! nggak jaman lagi kali jadi orang serius!" tawaku receh.

"Aza!!" 

"Dapa, mau nilai gue jelek sejelek jeleknya.. gue nggak bakalan serius belajar sampai kak Jein me-notice gue dihadapan gue langsung,"

"Berhenti mimpi jadi orang yang di gebet kak Jein!" 

Aku menoleh, barusan Dapa berteriak? kepadaku? masa?

"Dapa lo kenapa sih?--"

"Serius ya Za, lo itu di mata kak Jein nggak lebih cuma sekedar fans nya saja, dia nggak kenal lo dan mungkin ga bakal mau mengenal elo,"

Aku terdiam, menatap Dapa dengan takut, Dapa seperti sedang tidak main-main. Matanya tersirat percikan kesedihan, entah kenapa, perasaanku menjadi buruk kepada kesehatannya, aku takut Dapa sedang kritis stadium akhir. Bahkan, sekarang atau saat ini ia tidak membahas Pricilia, padahal hampir setiap hari ketika aku menemuinya selalunya nama Pricilia dia bawa. Sebagai teman aku khawatir, tentu saja.

"Dapa.."

"Gue kasih tau ini ya ke elo, lo boleh jadi fans, boleh banget.. asalkan ke fanatik-an elo itu diseimbangin dengan belajar--"

Kali ini aku berhasil memutus ucapan Dapa, aku sedikit marah, mataku melotot, "Kak Jein nggak bikin gue malas belajar! Justru malah bikin aku tambah semangat belajar! Lo sok tau Dap!"

"Oke sorry kalau ternyata gue sok tau, tapi tolong kurangi deh Za, lama-lama gue bisa gila sendiri harus ngomong ini ke elo terus dan terus menerus,"

"Lo mau maksa gue buat belajar lagi?" 

Dapa mengacak rambutnya kesal, "Buat kebaikan elo, sat."

Kata terakhir di akhir kalimat Dapa membuat aku terdiam, kali ini menatap dengan sangat amat tidak suka. "Lo kalau mau minta nomor Pricilia tinggal bilang Dap, ga perlu pakai maksa gue buat belajar!"

Aku menuruni rumah pohon Dahlia, aku marah, tidak tau ada apa dengan Dapa. Dapa juga terlihat frustasi, menatap jendela kamar Meera, disana Meera berdiri, kedua tangannya dilipat ke depan dada kemudian menggelengkan kepala, kemudian dibalas Dapa, "Maaf kak," []

Unpredictable UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang