Lubna's PoV
Jarum jam dinding yang pendek kini berada segaris dengan angka 3, sedangkan yang panjangnya sudah mencium angka 6. Namaku Una, dan jam segini sudah harus membuka mata.
Aku duduk sebentar setelah nyawaku terkumpul sempurna, kira-kira sepuluh detik dan langsung berdiri sebelum nanti takutnya akan berbaring lagi.
Aku melompat dari kasur menuju lantai kamar yang diliputi ubin putih yang berkilauan. Itu ritual bangun tidur pertamaku agar aku langsung meraih semangat di awal hari. Sebenarnya, Ayah dan ibu suka mengomel soal kebiasaanku itu. Yah, sebab biasanya aku lompat sambil berteriak "LUBNA FAIRUZIAAA HEBAAAT" seakan lupa kalau ada dua pasang telinga——telinga ayah dan ibuku——yang kaget mendengarnya, seakan aku lupa kalau punya tetangga yang juga punya telinga.
Tapi percayalah, setelah meneriakkan kalimat positif itu, aku merasa dihujani beribu-ribu liter semangat.
"LUBNA FAIRUZIAAA HEBAAAT..." pekikku walau ditutup dengan menguap.
Ya, aku berteriak seperti itu di jam setengah empat pagi. Aku juga sudah membuka jendela, menyeret kordennya menepi, dan membiarkan udara berganti. Iya, ini masih gelap.
Tiga menit pertama, aku berdiri di depan jendela. Karena nyaris tidak pernah kudengar berita horor disekitaran sana, aku jadi tidak merasa parno saat melakukannya.
Mau tahu apa yang kulihat dari jendela? Percikan bintang yang satu kanvas dengan bulan di angkasa. Apalagi satu titik kecil bercahaya yang biasa diduga sebagai venus si Bintang Timur itu, cantiknya luar biasa. Biasanya aku juga merenungi kehidupanku sambil menatap pemandangan karya Tuhan Maha Kuasa itu.
Selanjutnya, aku beranjak ke kamar mandi untuk membasuh muka dan sikat gigi. Lalu, berjalan ke tempat wudhu dan menunaikan salat malam, ini adalah caraku mengisi daya tambahan selain tidur. Aku akan punya energi utuh selama seharian penuh.
Ketika akhirnya subuh menjelma, aku sekaligus menunaikannya. Ditutup dengan doa, akhirnya hariku akan dimulai juga.
Aku bermain lompat tali selama sepuluh menit, menyeduh green tea, dan bergegas mandi. Uh, segarnyaaa!
"Zizi, sarapan hari ini telur ceplok aja ya!" kata ibuku saat aku sudah siap dengan seragam putih abu-abu, menenteng ransel abu-abu, dan berjalan menuju meja makan.
"Iya, buk. Zizi minta yang mateng ya," jawabku. Fyi, aku kurang menyukai sesuatu yang undercook atau belum matang sempurna.
"Iya, sayang."
Dari sisi lain rumah, Ayahku turut bergabung. "Zi, Ayah tadi bangun tidur langsung pusing gara-gara teriakan kamu lagi. Respons tubuh Ayah itu refleks banget, benar-benar kaget."
Nah kan, apa kubilang, nyaris selalu ada protes tiap harinya soal kebiasaan pagiku. "Maaf, Yah. Kalau nggak gitu, Zizi ngerasa hampa, hehe."
Yap, aku memang terbiasa dipanggil Zizi kalau di rumah. Omong-omong, aku sebenarnya punya kakak laki-laki. Namanya Alfa. Sayangnya, ia sedang tidak di rumah. Kampusnya yang sangat jauh——karena di luar kota——memaksanya untuk kos diluar. Lumayan, aku jadi tidak punya teman perang di rumah. Tapi jujur, terkadang tanpa Kak Alfa aku merasa kesepian.
Kembali ke meja makan. Usai menyantap sarapan, aku bergegas pamit pada orang tuaku. Aku berangkat sekolah dengan berjalan kaki, atau kalau sedang malas mungkin bisa naik otopetku yang berusia tiga tahun itu. Otopet itu hadiah kelulusanku saat SD dan masih sangat berfungsi hingga sekarang.
Omong-omong, hidupku normal kok. Aku punya kelebihan dan punya banyak sekali kekurangan. Nanti kalian tahu sendiri. Itupun juga kalau kalian mau tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Us
Teen FictionTujuh puluh lima persen orang yang mengetahui persahabatan antara Aza dan Una merasa bingung. Kenapa dan bagaimana bisa seorang Oxana Zada alias Aza yang hobinya rebahan, corat-coret buku, dan ngopi itu bisa bersahabat dengan Lubna Fairuzia alias Un...