Lubna's PoV
"Una, kita belajar di rumah gue aja ya nanti. Bunda masak banyak, mau dikirim ke rumah-rumah sosial gitu. Lumayan kan bisa sekalian makan gratis? Ada Dapa juga kok," ajak Aza padaku saat kami baru saja keluar kelas. Jam pelajaran baru saja usai.
"Eum, jam berapa, Za?"
"Kaya biasanya, abis lo kelas olim."
Setiap hari Senin sampai Kamis, jam sekolah akan berakhir pukul 15.30. Jika aku mengikuti kelas olim selama satu jam, aku baru bisa pulang pukul setengah lima. Sebelum-sebelumnya, aku selalu bertemu dengan Aza untuk mengajarinya Bahasa Inggris. Tapi, hari ini...
"Aza, kayanya gue nggak bisa. Nanti gue ada belajar tambahan sama Aghie," tolakku dengan sangat halus.
"Loh, kan lo sama Aghie udah belajar bareng pulang sekolah? Yang di kelas olim itu masih kurang?" protes Aza. Yah, aku paham, aku kan sudah berjanji mau membantu Aza belajar, tapi aku juga harus mengejar materi olimpiade yang ketinggalan.
"Ya gimana ya, Za?" Aku cuma nyengir, tidak tahu harus menanggapinya bagaimana.
"Abis Maghrib deh kalo gitu, gimana? Gue harus beneran belajar ini!"
"Gabisa, Za. Gue belajarnya sampe malem." Aku benar-benar harus menolak permintaan Aza kali ini, Aghie bilang kami akan ngebut belajar materi astronomi, aku harus fokus pada olimpiadeku.
"Gimana sih, Na? Lo jangan gitu dong! Seenaknya sendiri ingkar janji." Nada suara Aza perlahan naik oktaf demi oktaf, wajahnya juga tidak bisa menyembunyikan ekspresi kesal. "Lagian bukannya lo bilang kalau lo keluar dari tim olimpiade waktu itu?"
"Gue masuk lagi, buat Aghie. Gue harus bantu dia." Aku mulai ikut-ikutan memasang wajah kesal, membuat Aza semakin kesal berkali-kali lipat.
"Jadi lo pilih bantuin Ari daripada bantuin gue?!" Aza memelotot.
"Apa sih Za? Kok lo nyolot gitu?!"
"Gue nggak bakal marah kalo lo nggak ingkar Janji, Una!" Napas Aza menderu kesal.
"Timbang libur sehari doang belajar bahasa inggrisnya apa susahnya sih, Za? Kan masih ada besok, lusa, dan hari lainnya. Urusan gue lebih penting, Aza!" Kalau Aza bisa seenaknya memarahiku, aku juga bisa seenakku memarahinya. Dia pasti tidak tahu masalah sepupunya itu, Aghie sangat butuh kepercayaan orang tuanya kembali. Aku harus membantunya.
"Urusan lo lebih penting? Sepenting itu ya sampe harus ingkar janji?!"
"Kok lo bawa-bawa 'ingkar janji' terus sih? Lo ngertiin gue dong! Gue bukan ingkar janji, cuma izin sehari doang gabisa bantu lo, gitu aja dibikin masalah."
"Egois lo, Na! Minta dingertiin tapi lo sendiri nggak pengertian kalo gue emang beneran butuh. Lo lebih mentingin Ari daripada gue, gue curiga jangan-jangan lo suka ya sama Ari?"
"Kok jadi kesitu bahasnya?"
"Cih!" Aza menghela napas remeh sambil menggeleng tidak menyangka. "Bilang aja suka sama Ari dan gabisa nolak ajakan dia, iya 'kan?" Aza tersenyum miring, menaikkan sebelah alisnya.
"Udahlah, Za! Gaudah gede-gedein masalah! Besok aja belajarnya, gue buru-buru. Aghie udah nunggu." Aku buru-buru meraih ranselku, menjajak dengan langkah tegas, dan meninggalkan Aza dengan kepala beruap. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku menabrakkan setengah badanku ke bahu Aza meskipun jalan keluar kelas seluas samudra. Saking kesalnya, aku tidak tahu bagaimana bisa melakukan hal itu membuatku sedikit lega, biarkan saja Aza terjungkal atau mau salto sana. Aku tidak peduli.
***
Hari ini terasa berwarna sekali. Ada warna hitam antara pertengkaranku dengan Aza, dan ada warna-warni pelangi saat aku belajar dengan Aghie. Empat jam bersama Aghie terasa begitu menyenangkan sekali.
Aghie membawaku ke rumahnya, Mamanya menyambutku dengan sangat baik. Beliau senang aku datang kesana, karena Aghie adalah anak tunggal dan laki-laki. Beliau senang karena Aghie membawa anak perempuan sebagai teman mengobrol walaupun hanya beberapa menit saja, selebihnya kami belajar.
Entah kenapa belakangan ini Aghie mulai berubah, lebih hangat dari sebelumnya. Ia juga mulai terbuka untuk menceritakan beberapa hal tentang dirinya. Aghie lebih banyak tersenyum hari ini.
Omong-omong, Aza benar.
Aku memang menyukai Aghie.
Itu dulu, lalu aku membencinya. Tapi ternyata rasa itu tidak sepenuhnya hilang, rasa itu kembali lagi sejak hari ini. Melihat tawa Aghie, meruntuhkan benteng kebencian yang sudah menjulang tinggi selama ini.
Sepertinya, saat ini adalah saat yang tepat bagi kalian untuk tahu tentang kelicikanku. Sebegitu cerdasnya aku hingga aku tampak sempurna di mata orang lain, padahal aku punya sisi yang kotor juga.
Perhatian! Siapa sih orang yang mau berteman dengan Oxana Zada? Cewek dengan predikat mager alias males gerak nomor satu se-Indonesia raya. Tahunya cuma makan, tidur, dan ngebucinin Kak Jein aja?!
Aku sudah mengenal Aza sejak SMP, sifatnya statis begitu-begitu saja. Saat MOS dulu, kami ada dalam kelompok yang sama. Aku mendekati Aza karena saat itu dia bilang, "Itu sepupuku, nyebelin orangnya." sambil menunjuk Aghie yang kala itu menjadi MC di acara Pembukaan MOS.
Kakak kelas bernama Ghifari Al-Qarni itu menyedot banyak perhatian siswa-siswi baru karena dia memaparkan segudang prestasinya saat diminta memperkenalkan diri. Duta Fisika sekolah yang menurutku berwajah manis itu langsung membuat aku tertarik. Jujur saja, sebelumnya aku selalu membenci anak laki-laki, tapi itu menjadi tidak berlaku setelah aku mengenal sosok Aghie.
Ide brilian muncul ketika Aza hanya menghabiskan waktunya sendiri kala MOS. Aku mendekatinya agar kami bisa berteman sekaligus bisa mendekatkan aku dengan orang yang waktu itu masih kupanggil Kak Aghie. Setiap minggu aku selalu datang ke rumah Aza, kalian pikir karena apa? Ya supaya bertemu Aghie lah! Cowok itu sering datang menemui Bang Rama untuk jogging bersama.
Sulit sekali menarik perhatian Aghie kala itu. Malahan semakin hari tingkat sebal cowok itu kepadaku semakin tinggi, aku juga tidak tahu kenapa. Hingga akhirnya aku menyerah untuk menarik perhatiannya lagi, sekarang justru ia yang datang dan membuat perasaanku goyah lagi. Duh, jadi remaja begini amat sih?!
Apa kalian berpikir aku jahat?
Maaf!
Tapi itulah aku.
Maaf juga ya Aza.
[...]
KAMU SEDANG MEMBACA
Unpredictable Us
Teen FictionTujuh puluh lima persen orang yang mengetahui persahabatan antara Aza dan Una merasa bingung. Kenapa dan bagaimana bisa seorang Oxana Zada alias Aza yang hobinya rebahan, corat-coret buku, dan ngopi itu bisa bersahabat dengan Lubna Fairuzia alias Un...