Bagian 16

63 15 0
                                    

Lubna's PoV

Sudah dua hari Aghie tidak datang ke kelas olimpiade. Setiap kali aku datang ke kelasnya sepulang sekolah, ia pasti sudah lebih dulu meninggalkan kelasnya itu. Termasuk hari ini, aku menghela napas karena lagi-lagi tidak mendapatinya. Guru pembimbing pun tidak menerima permintaan izin atau pamit dari cowok itu.

Aku memutuskan untuk mengunjungi rumah Aghie hari ini, aku harus bertemu dengannya. Mau jadi apa tim belajar kami jika dia seenaknya sendiri? Mentang-mentang pintar.

"Mau kemana, Na?" Entah bagaimana caranya Dapa tiba-tiba ada disampingku.

"Ke rumah Aghie."

"Tumben, biasanya bukannya ketemu di rumah Aza ya? Dan emang hari ini lo nggak ada kelas olimpiade?"

"Ada kelas olim, tapi Aghie udah pulang. Jadi gue mau ke rumah Aghie langsung. Belakangan Aghie juga gak pernah main ke tempat Aza lagi," jawabku.

"Bentar deh, Na. Kemarin jam segini gue lihat Kak Aghie di markasnya Jackson." Dapa mengutarakan ingatannya yang setengah kabur.

"Jackson itu siapa?"

"Itu lo, gerombolan anak IPS yang sering lari di lapangan pas siang bolong, yang dihukum karena suka melanggar aturan sekolah itu."

"Gue nggak kenal. Emang markasnya dimana?" tanyaku dengan nada penasaran.

"Belakang sekolah, lo tahu kan ada rumah tua? Gue kemarin penasaran karena ada sinyal hotspot masuk ke ponsel gue. Niatnya sih mau wifi-an di kafe sebelahnya, eh ternyata ada hotspot namanya Al-Ghifari. Gue cek kan sambil diem-diem, ternyata banyak beud anak kelas 12-nya," jelas Dapa panjang lebar.

Aku cukup kaget dengan apa yang Dapa katakan. Kaget dengan sedikit bumbu marah. Tak menunggu apa-apa lagi, aku segera beranjak ke tempat yang dimaksud. Bahkan aku tidak peduli dengan apa yang Dapa katakan selanjutnya.

***

Aroma debu dan asap rokok berbaur menyerang indera pembauku, bangunan tua yang belum jadi sempurna namun pembangunannya tidak dilanjutkan lagi itu benar-benar mengerikan. Aku tidak begitu takut karena ini masih siang bolong.

Dari luar sih, bangunan ini tampak sunyi, kotor, dan pokoknya berantakan. Sisa-sisa pembangunan juga tidak disingkirkan. Beberapa peralatan bahkan berkarat dan dililiti dedaunan. Beberapa sisi bangunan juga tampak tidak sehat karena lumutan.

Perlahan suara tawa dan pukulan juga mulai menyerang indera pendengaranku. Jujur, tubuhku mulai bergetar. Aroma dan suara itu kian menguat di salah satu ruang, dan aku nyaris semaput saat berdiri di pintu ruangan itu. Kondisi bagian dalamnya pun remang-remang.

"Eh, siapa lo?" kaget seseorang saat melihatku.

Aku lebih kaget melihatnya, melihat penampilannya. Orang itu menggunakan seragam putih abu-abunya dengan gayanya sendiri. Kancing kemeja terbuka, dasi menggantung bebas di lehernya, headband hitam melingkari kepalanya, dan selinting rokok bertengger diantara jari telunjuk dan jari tengahnya. Dia bukan Aghie, dan aku takut sekali.

Beberapa temannya ikut memperhatikanku. Gaya pakaiannya tidak jauh beda, beberapa malah ada yang sudah mengganti kemeja dengan kaus atau bahkan membiarkan bagian atas tubuhnya terbuka. Ewh...

Aku menelan ludah dengan susah payah, tidak tahu harus melakukan apa.

Yang mengagetkan adalah, seseorang merangkulku dari belakang dengan aroma alkohol aneh dan tentunya bau rokok. "Orang nyasar," kata cowok itu pada teman-temannya. Ia kemudian melangkah ke tempat lain dengan masih mencengkeram kuat bahuku. Terpaksa aku mengikutinya.

Tubuhku mulai basah, keringatku mengucur deras, deru napasku berantakan. Apalagi saat ia mendudukkanku di kursi kayu tua.

"Kamu nyasar kan?" tanyanya. Dan dia adalah Aghie.

"Enggak. Saya sengaja kesini."

"Bilang aja ke teman-teman saya kalau kamu nyasar, oke?"

"Nggak rasional lah, kalau memang saya nyasar, mana mungkin saya malah blusukan ke tempat yang jelas-jelas aneh begini!" Akhirnya aku bisa bersuara panjang. "Saya takut, Ghie!"

"Huh!" Aghie memutar bola matanya malas. "Tumben kamu mau tinggalin kelas olim, kamu udah siap kalah ya?"

"Loh, kenapa disini seakan-akan aku yang salah?" tanyaku dengan nada sewot. Kan harusnya aku yang marah, harusnya aku yang menyalahkan dia.

"Jangan pernah kesini lagi sendiri, bahaya. Kalau kamu mau pulang dengan selamat, sekarang silakan pulang!" ujar Aghie.

"Ayo belajar!" kataku.

"Saya hitung sampai tiga, kalau kamu tidak pulang, saya tidak tanggung risikonya!"

"Ayo belajar, Ghie!"

"Satu," hitung Aghie sama sekali tidak mempedulikan ajakanku.

"Aghie!!!"

"Dua,"

"Kamu ini kenapa sih, Ghie?!!!"

"Tiga. Kamu pemberani ternyata," ucap Aghie sambil melangkah pergi. Dia benar-benar tega. Apa ini sisi gelap dari kehidupan Aghie yang selalunya kukira sempurna.

Tampan? Jelas.

Kaya? Bisa dibilang begitu.

Pintar? Lebih dari itu, ia jenius.

Alim? Masih dipertanyakan. LOL.

Darahku mendadak saja mendidih, emosiku tidak terkontrol. "Kamu ini kenapa sih?" pekikku lantang. Namun tidak terlalu keras, kalau sampai terdengar oleh orang-orang ganas tadi kan bahaya.

Aghie berhenti, ia berbalik. "Pergi, Una!"

"Pergi!!!" ulangnya dengan nada naik satu oktaf.

Air mataku menetes, aku sendiri tidak tahu kenapa. Tapi, sekarang kakiku lemas. "Terserah deh, Ghie. Saya nggak paham sama kamu. Saya keluar dari tim. Kita bukan partner olimpiade lagi."

Setelah menghapus air mata, aku beranjak pergi dengan kekuatan emosi. Tatapan terakhirku jelas menunjukkan kalau urusan kami selesai sampai disini.

Bodoh, bodoh, bodoh!!!

***

"Zizi, kamu kenapa, Sayang?" tanya Ibu sambil mengantarkan makan siang ke kamarku. Aku memang tidak keluar kamar sejak pulang sekolah tadi.

"Enggakpapa, Buk. Tadi cuma habis nyasar aja, jadi Zizi capek. Males keluar, mau istirahat dulu."

"Ayo makan dulu! Apa mau disuapin?" goda Ibu.

"Lubna Fairuzia itu udah besar, Buk. Masa masih disuapin. Tapi, boleh deh di suapan pertama, hehe."

Ibu tersenyum lalu mengangkat sendok yang berisi nasi dan sepotong wortel. Aku melahapnya dengan penuh semangat. Yak, aku sangat membutuhkan energi untuk sekarang ini.

"Ayo cerita!" kata Ibu.

"Enggak ada, kan Zizi bilang gak kenapa-kenapa."

"Kamu pikir bisa gitu bohongin Ibuk?"

"Hah, naluri seorang ibu memang kuat banget ya." Aku tersenyum, menghela napas yang berat. "Zizi keluar dari tim olimpiade, Buk. Maaf ya!"

Ibu hanya tersenyum, "Nah, benar 'kan, pasti ada apa-apa." Ibu menyentil hidungku. "Selama itu keputusan yang baik dan udah dipikirkan dengan matang, ibu dukung kok kemauanmu."

Aku terhenyak, tidak biasanya Ibu membiarkanku melewatkan sebuah kompetisi. Bahkan biasanya Ibu lah yang tiba-tiba mendaftarkanku untuk ikut beberapa lomba.

"Kamu sekarang udah SMA, udah mulai dewasa, nggak mungkin Ibuk terus-terusan menekan kamu 'kan? Ayah juga akan ngerti kok."

Aku tersenyum.

"Makan sendiri ya, Ibuk mau beres-beres dulu."

"Iya, makasih, Bu. Zizi sayang Ibuk."

Ibu mengusap puncak kepalaku, kemudian menghilang dia depan pintu kamar.

***

7 Panggilan tak terjawab dari Kak Made Astronomi
3 Panggilan tak terjawab dari Dapa
2 Panggilan tak terjawab dari Aza

"Huh, bahkan Aghie kelihatannya nggak merasa bersalah sama sekali!"

[...]

Unpredictable UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang