Beberapa kali Stevan menjawab sapaan dari teman-teman seangkatannya, maklum, ketua OSIS yang belum lepas jabatan. Dan beberapa kali juga Stella mendapat tatapan bingung dari mereka semua yang menyapa Stevan. Mengingat dengan entengnya Stevan merangkul bahu Stella, pasti banyak pertanyaan yang timbul di pikiran orang lain yang belum mengetahui tentang hubungan mereka. Seperti tadi, ada 2 kakak kelas yang menyapa Stevan secara bersamaan lalu menatap Stella dengan tatapan tak bersahabat. Tapi, yasudalah, mari kita buat semuanya jadi bodo amat.
"Iri deh liat lo berdua. Udah kayak brother sister goals banget," ucap Faldo yang tiba-tiba sudah berada di samping Stella. Di detik itu juga Stella merasa jantungnya berhenti berdetak selama beberapa detik, matanya membulat dan berbinar, bibirnya sangat terlihat jika ia sedang menahan senyumnya, aduh Tuhan, ganteng pisan.
Melihat adiknya yang seperti itu, Stevan segera menepuk bahu Stella dua kali untuk menyadarkan Stella, sebelum dirinya menjawab ucapan Faldo. "Kalau lagi akur ya gini. Bisa dibilang ini cuma gimmick." Faldo terkekeh pelan mendengar jawaban Stevan.
"Kak Faldo anak tunggal ya?" tanya Stella tiba-tiba. "Iya. Makanya gue suka iri sama lo berdua, goals banget," jawab Faldo.
"Ini semua cuma biar image-nya Bang Stevan tetep terjaga aja," ucap Stella dengan asal. Stevan tak menjawab, ia hanya berdecak kesal pelan.
"Lo lagi buru-buru nggak, Van? Main yuk. Udah lama kita nggak main bareng," celetuk Faldo. "Bol—"
"Ikut dong!" serobot Stella cepat. Kedua cowok disampingnya langsung menoleh kearah Stella. "Kalau nggak pulang bareng lo, gue naik apa, Bang?" tanya Stella berusaha memberi kode Stevan jika dirinya ingin ikut.
"Boleh kan gue ngajakin dia?" tanya Stevan kepada Faldo sambil melirik ke arah Stella. Faldo tersenyum, "Boleh banget lah."
"Ya ampun senyumnya," batin Stella, melting.
Yang tadinya Stella sangat bersemangat untuk ikut main dengan Stevan dan Faldo, kini ia malah terlihat bosan. Stella kira main yang dimaksud oleh Stevan dan Faldo adalah main yang seperti Stella pikirkan. Nonton, makan, main di TimeZone, atau hal-hal lainnya yang menyenangkan. Tapi ini, hanya duduk di sebuah cafe, bahkan keduanya memilih duduk di outdoor yang panas itu. Jelas saja, Stella tidak bisa menolak, akhirnya dengan sangat terpaksa Stella ikut duduk di outdoor yang cukup panas itu.
Dengan ditemani secangkir kopi panas, Stevan dan Faldo berbincang tentang hal-hal kecil yang Stella sendiri sebenarnya tak paham. Mereka berdua seolah-olah lupa dengan kehadiran Stella disini. Stella menyedot ice lemon tea dihadapannya dengan kuat, ia tak suka kopi, tak suka diam, dan tak suka panas. Ya meskipun tempat duduk mereka tidak terkena sinar matahari langsung karena tertutupi oleh tanaman, tapi tetap saja, hawa panasnya terasa.
"Eh ada Ibu Stella yang galak, kita ketemu lagi," ucap seseorang yang langsung membuat Stella, Stevan, dan Faldo menoleh dengan kompak.
Stella langsung bangkit dan menatap orang didepannya dengan tajam. "Lo ngikutin gue?!"
"Sante dong. Ini kan tempat umum," jawab Adam. Sementara itu Raden dan Adit hanya bisa saling melirik, mengingat setelah ini akan ada perang dunia ketiga.
"Yaudah sana! Nggak usah deket-deket gue," kesal Stella dengan mengibaskan tangannya.
"Siapa juga yang deket-deket." Lalu Adam menyeringai jail, "Ngarep banget ya gue deketin?"
Stella menganga lebar, kaget dengan ucapan Adam. "Amit-amit. Demi segala macem iblis, gue nggak sudi."
"Ntar ya. Tunggu hati gue kosong dulu. Baru gue deketin lo. Sabar, oke?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing You [END]
Teen FictionIni kisah tentang seseorang yang sedang memperjuangkan perasaannya. Tapi ternyata, yang diperjuangkan malah memperjuangkan yang lain. Dan yang sedang berjuang, ternyata lupa untuk sekedar sadar jika disekitarnya ada yang juga sedang memperjuangkan...