Chap 6

562 49 0
                                    

Stella hanya bisa diam ketika Novi sudah mulai menceramahinya panjang lebar. Ditambah Abi yang juga ikut-ikutan menceramahinya karena keterbatasannya untuk mengingat jalan.

Stella sendiri tidak tau kenapa dia bisa sebego itu untuk mengingat jalan. Kecuali jalan raya yang sudah sangat sering ia lewati. Dari rumahnya ke tempat latihan bela diri, dari rumahnya ke sekolah, dari rumahnya ke sekolah Stevan, dari rumahnya ke kantor Abi, ataupun dari rumahnya ke mall yang memang lumayan dekat dengan rumahnya itu. Selebihnya ia tidak tau sama sekali, apalagi jika seperti tadi, masuk ke perkampungan orang, Stella pasti sudah panik duluan.

Ketika ia masih kecil, Stella pernah tidak bisa pulang ketika dirinya nekat untuk bersepeda di sore hari, padahal dirinya masih berada di sekitaran perumahannya. Namun, Stella tetap menangis karena tidak tau jalan pulang. Beruntung ada seorang satpam yang kebetulan lewat dan menghampiri Stella lalu mengantar gadis itu ke rumahnya.

Tetapi, beruntungnya Stella tidak se-bloon itu untuk mengingat pelajaran sekolahnya. Apalagi pelajaran bahasa yang sangat ia suka, yaitu Bahasa Inggris. Sedangkan untuk matematika dan sebagainya, bisalah dirinya mengingat rumus-rumusnya, namun ia sangat kurang teliti dalam hal hitung menghitung.

"Bundaa, udah dong ngomelnya. Stella capek, habis latihan, terus berantem sama orang jahat. Pegel semua," rengek Stella. "Ayah juga, Stella lagi capek nih," lanjutnya.

"Yaudah kalau gitu sana masuk kamar. Bersih-bersih dulu terus tidur," ucap Novi yang langsung diangguki oleh Stella. Bahkan dirinya udah berdiri dari sofa dan mulai berjalan menuju kamarnya.

"Tapi kamu nggak papa kan, La? Nggak ada yang luka kan?" tanya Abi yang membuat Stella menghentikan langkahnya.

"Nggak papa kok. Stella kan jago. Cuma pegel aja, nggak ada persiapan sama sekali buat ngelawan preman kayak gitu," jawab Stella jujur.

"Jangan langsung tidur. Habis bersih-bersih, makan dulu. Lo kan belum makan malem," ucap Stevan sebelum Stella melangkahkan kakinya kembali. Tanpa bersuara, Stella hanya mengangguk dan langsung melangkahkan kakinya menuju kamar. Sungguh ia merasa pegal-pegal. Habis latihan yang sangat menguras energi, dan langsung berantem hebat dengan dua preman sekaligus. Ah, bahkan Stella tak pernah membayangkan dirinya benar-benar berkelahi dengan preman, atau bahkan 2 preman sekaligus, karena selama ini ia hanya menghajar Adam, dan juga menghajar lawan tandingnya saat pertandingan.

Setelah selesai bersih-bersih, Stella keluar dari kamar untuk makan malam, ia lapar, sangat manusiawi sekali jika saat ini dirinya merasa kelaparan. Sambil menyantap makanannya, Stella menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kembali di lontarkan oleh Novi.

"Gimana bisa kamu nyasar?"

"Kenapa kamu bisa berantem sama preman? Bunda minta kamu ceritain secara detail."

Dan masih banyak pertanyaan lagi yang kembali Novi lontarkan kepada Stella walaupun sebelumnya sudah ia tanyakan kepada anak bungsunya itu. Abi dan Stevan pun hanya bisa diam sambil menatap Novi yang sudah kembali mengomel panjang lebar. Tetapi, Stella malah memasang wajah tanpa dosa sambil terus menikmati makan malamnya.

"Kamu tuh dengerin bunda nggak sih, La? Gemes bunda sama kamu," kesal Novi.

"Denger bun, denger! Kuping Stella masih normal juga kok. Tapi tadi kan udah dibahas bunda, kalau Stella nyasar karena jalannya ditutup terus Stella salah ngikutin mobil. Mana gelap, sepi, Stella udah panik duluan," jawab Stella setelah menyelesaikan makannya.

"Lagian Stella bisa berantem sama preman juga karena nolongin kakak kelas Stella. Kak Faldo namanya. Dia juga temen sekelasnya abang," lanjut Stella.

"Yaudah deh kalau gitu. Untung aja kamu kalau masalah pelajaran gampang inget. Jadi—"

"Iya lah. Stella kan pinter, kuat, berani lagi. Bunda harus bangga dong punya anak kayak Stella," sahut Stella dengan percaya diri, memotong ucapan Novi.

"Bunda ngidam apa sih dulu waktu hamil kamu. Kenapa bisa kamu jadi kayak gini," ucap Novi pusing. Sementara itu, Stella dan yang lainnya terkikik pelan.

***

"Thanks juga ya Stella, udah nolongin gue. Lo keren banget."

"Lo keren banget."

"Keren banget."

Stella menggigit gulingnya dengan kuat sambil berguling-guling diatas kasurnya. Senyumnya sangat merekah sekarang, hatinya menghangat seketika, dan jantungnya mulai berdetak secara tidak wajar.

Ingatannya terus berkelana dimana saat tadi ia menolong Faldo, lalu memapah Faldo menuju pos, dan juga ketika Faldo memujinya. Mungkin terdengar simpel, namun Stella belum pernah di puji oleh orang lain kecuali keluarganya sendiri dan juga Pak Alan. Dan karena itu, Stella merasa sangat senang, apalagi yang memujinya adalah Faldo, kakak kelasnya sewaktu SMP yang sangat tampan itu.

Stella ingat, bagaimana raut wajah Faldo ketika dirinya memanggil Faldo saat menolongnya tadi, raut wajah Faldo ketika ia papah menuju pos, raut wajah Faldo ketika mengobati lukanya sendiri dibantu oleh Stevan, dan yang paling Stella ingat, raut wajah cowok ganteng Faldo ketika memuji Stella. Senyum tipis itu, suara berat yang khas itu, bahkan mata itu, Stella ingat semuanya.

Ditambah satu lagi kenyataan indah yang akan dijemputnya, jika dirinya akan satu sekolah kembali dengan Faldo, seperti saat dulu di SMP. Ya, setelah 3 tahun dirinya diam dengan bayangan Faldo yang selalu hadir, kini Stella dipertemukan kembali dengan Faldo didalam satu sekolah yang sama. Sungguh Stella sangat senang.

Tetapi, apa ini tanda untuk Stella agar dirinya harus diam lebih lama lagi seperti sebelumnya? Tidak, ia merasa cukup dengan waktu 3 tahun ini, sangat cukup. Kini, ada waktu kurang lebih 1 tahun, dan Stella tidak akan membuat dirinya tetap diam dengan bayangan Faldo lebih lama lagi. Stella harus membuat dirinya dekat dengan Faldo, dan karena itu, Stella akan berusaha.

---
Haloo semuaa😊 Terimakasih sudah membaca part ini.

Jangan lupa klik bintangnya ya. Untuk kritik dan saran masih banget aku tunggu *maklum lah masih newbie banget😅

Tunggu part berikutnya ya! See you😎

Chasing You [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang