"Lo tau kan kalau kita dulu satu sekolah waktu SMP? Mungkin lo nggak pernah kenal gue, tapi gue kenal lo, Kak. Gue tau lo waktu acara pensi, lo nyanyi sambil main gitar."
Stella menghembuskan nafasnya pelan sebelum melanjutkan ucapannya. "Disitu, gue bukan cuma kenal sama lo. Tapi gue mulai suka sama lo."
Terlihat Faldo mulai menatap Stella dengan bingung tanpa bersuara sama sekali. Ia ingat permintaan Stella beberapa detik yang lalu. "Mulai hari itu, gue coba cari informasi tentang lo. Tapi sayangnya gue gagal dapetin info tentang lo karena gue nggak punya temen sama sekali waktu itu. Dan sampai akhirnya lo lulus."
"Gue kira karena lo udah lulus, gue bakal lupa sama perasaan gue. Tapi ternyata nggak. Gue masih terus kepikiran lo, Kak. Gue masih tetep suka sama lo. Gue sendiri bingung, kenapa bisa gue masih suka sama lo."
Stella menatap Faldo sembari tersenyum kecil. "Gue kira perasaan itu cuma sebatas kagum yang paling cuma tahan sebulan dua bulan aja. Tapi ternyata, selama 2 tahun perasaan itu nggak hilang, bahkan sampai gue lulus pun gue masih bawa perasaan itu. Aneh emang, suka sama lo yang padahal lo aja udah nggak ada dideket gue."
Faldo semakin menatap Stella dengan terkejut. "Dan akhirnya entah kebetulan atau apa, gue nolongin lo waktu lo di keroyok sama preman. Gue seneng banget bisa ketemu sama lo lagi waktu itu. Apalagi waktu gue tau kalau lo temen Bang Stevan dan kita bakal satu sekolah lagi. Karena gue masih nyimpen perasaan sama lo, gue bertekad untuk deketin lo, setidaknya kali ini ada Bang Stevan yang bisa gue tanya-tanyain soal lo."
"Sampai akhirnya Bang Stevan bilang kalau lo ikut club biologi. Gue langsung semangat, gue bilang sama Bang Stevan kalau gue mau ikut seleksi club olimpiade biologi. Gue yakin kalau gue jadi anggota club biologi, gue bakal lebih sering ketemu lo, minta tolong diajarin, atau bahkan lebih sering chat sama lo walaupun tentang pelajaran. Pagi siang malem, gue belajar susah payah cuma karena gue pingin deket sama lo. Padahal sebenarnya, gue lebih suka bahasa Inggris. Dari SMP gue sering ikut olimpiade bahasa Inggris, tapi karena lo, gue rela bikin diri gue suka sama biologi, Kak."
Stella menundukkan kepalanya sembari mengambil nafas panjang. "Tapi disaat gue lagi berjuang buat deket sama lo, gue tau satu fakta. Lo juga ngejar Kak Bunga. Lo inget nggak waktu kita berempat belajar bareng di cafe, gue nyuruh lo nganterin Kak Bunga. Itu karena gue tau lo dari tadi cuma natap Kak Bunga. Tapi, bukan karena gue nyuruh lo nganterin Kak Bunga, gue berati nyerah. Nggak, gue nggak nyerah, gue malah makin tekun buat belajar biologi biar gue bisa lolos seleksi. Dan Tuhan ngabulin itu, gue lolos seleksi club olimpiade biologi."
"Sayangnya, habis pengumuman kalau gue lolos seleksi club olimpiade biologi, gue makin sadar kalau semakin gue ngejar lo, lo juga makin ngejar Kak Bunga. Gue inget banget waktu Kak Bunga ngajakin gue sama Bang Stevan buat makan siang sama kalian berdua di hari pengumuman seleksi olimpiade. Tapi gue langsung nolak, karena gue paham tatapan lo waktu Kak Bunga ngajakin gue sama Bang Stevan, Kak. Gue ngerti arti tatapan lo itu. Bahkan sebenarnya Bang Stevan bisa aja nyusulin kalian berdua habis anterin gue ke tempat latihan, tapi gue ngelarang. Gue tau lo cuma pingin makan berdua sama Kak Bunga."
Diam-diam Faldo memutar kembali memorinya, ia ingat kejadian-kejadian itu dan ia tidak menyangka Stella akan sepaham ini. "Udah lama banget gue nahan perasaan ini, dan sekarang kayaknya waktu yang tepat buat gue untuk bilang soal perasaan gue ke lo, Kak. Gue nggak minta jawaban lo, karena gue udah tau jawabannya. Satu lagi, lo tadi tanya kan, udah cocok apa belum lo sama Kak Bunga. Gue jawab ya, udah cocok kok. Kejar Kak Bunga terus, Kak. Gue yakin lo sayang banget sama dia."
Stella menatap Faldo dalam. "Gue rasa, gue udah keluarin semuanya. Gue bener-bener nggak minta jawaban dari lo, Kak. Gue juga nggak ngarep apapun. Bahkan kalau setelah ini lo mau jauhin gue, gue nggak masalah. Itu hak lo, Kak."
Faldo menghela nafasnya panjang. Ia menatap Stella yang kini tengah menatap ke arah lain untuk menghindari tatapannya. "Gue kira selama ini lo nggak ada perasaan ke gue. Gue kira selama ini kita ya cuma kayak adek kakak aja. Gue nggak mikir sampe segitunya."
"Yang lo bilang kalau gue suka sama Bunga itu bener, udah dari satu tahun yang lalu gue suka sama Bunga. Sorry, Stel, gue nggak bisa bales perasaan lo. Hati gue bener-bener milih Bunga," ucap Faldo tidak enak hati.
Stella tersenyum sekilas. "Kan udah gue bilang, gue nggak perlu jawaban. Gue juga nggak perlu pengakuan kalau lo nggak suka sama gue. Gue nggak perlu itu semua. Gue cuma mau ngungkapin semuanya aja, ngelepasin beban yang selama ini gue pendem. Jadi, santai aja, Kak."
Faldo hanya diam. Ia kehabisan kata-katanya. Ia tidak tau harus apa sekarang, harus menjawab apa, dan harus bagaimana. "Maaf kalau lo ngerasa risih karena pengakuan dari gue. Gue udah siap kalau besok lo jauhin gue, Kak," ucap Stella.
Faldo menggeleng. Ia langsung menggenggam tangan Stella. "Gue nggak ada sedikit pun niatan buat ngejauhin lo, Stella. Mungkin emang kita nggak bisa pacaran, tapi kita bisa jadi temen kayak biasanya. Gue bisa tetep jadi kakak lo, dan lo tetep gue anggap jadi adek gue."
Stella melepaskan genggaman tangan Faldo. "Besok, gue tanding bela diri. Lo mau dateng kan, Kak? Ajak Kak Bunga sekalian ya," pinta Stella sekaligus mengalihkan pembicaraan.
"Gue pasti dateng. Lo tenang aja."
Stella tersenyum mendengar jawaban Faldo. "Udah mau sore, gue anter balik yuk," ajak Faldo. Stella mengangguk, ia rasa, ia butuh kamarnya saat ini, kamar yang mampu membuat Stella melepaskan semua bebannya.
Sesampainya dirumah, Stella langsung masuk ke kamarnya. Ia membanting tasnya keatas kasur lalu mendudukkan dirinya diatas sofa yang ada di kamarnya. Dua kali ditembak oleh cowok membuat Stella sudah mengatur strategi agar ia tidak terlalu larut dalam kepatah hatian ini, mengingat besok ia harus mengikuti pertandingan bela diri yang memerlukan banyak fokus dan juga ketangkasannya.
Dari Adam ia belajar tentang menyatakan perasaan itu hal yang wajar namun memerlukan keberanian yang kuat. Cowok itu rela babak belur hanya untuk menyatakan perasaannya walaupun sebenarnya Adam sangat mengerti jika ia dan Adam tak akan pernah bisa disatukan kecuali dalam ikatan pertemanan. Lain halnya dengan Niko, Stella belajar bagaimana cara untuk menyatakan perasaannya tanpa mengharapkan sebuah balasan. Ia memberi tahu Stella arti ketulusan yang sebenarnya, tanpa memaksa Stella untuk menerima perasaan yang telah Niko utarakan.
Dan itu semua yang membuat Stella kuat untuk sekarang. Ia berani menyatakan perasaannya walaupun sebenarnya ia tau, jika Faldo telah memilih Bunga untuk tempatnya berlabuh. Atau dapat dikatakan, Stella sudah mengetahui takdirnya jika Faldo sudah menolaknya jauh sebelum ia menyatakan perasaannya. Sehingga dengan begitu, Stella hanya bisa memberikan sebuah ketulusan tanpa mengharapkan adanya sebuah ikatan diantara Stella dan Faldo.
Stella mengembuskan napasnya panjang, ternyata begini rasanya ditolak walaupun sebenarnya ia sudah mengerti jika ia akan ditolak. Sakit, tapi tak ada luka. Perih, tapi tak ada goresan. Dan sedih, tapi tak ada air mata. Memang ya, sepertinya hanya cinta yang dapat membuat seseorang merasakan semua rasa dalam waktu yang bersamaan. Senang, sedih, sakit, galau, atau bahkan hingga tak ada kata-kata yang cocok untuk mengekspresikan rasa yang sedang melanda dirinya.
---
Aku kembali, setelah dua minggu hilang tanpa kabar :')Rasanya nggak rela pisah sama Stella, Faldo, Adam, dan Niko karena bentar lagi Chasing You bakalan tamat guys :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing You [END]
Teen FictionIni kisah tentang seseorang yang sedang memperjuangkan perasaannya. Tapi ternyata, yang diperjuangkan malah memperjuangkan yang lain. Dan yang sedang berjuang, ternyata lupa untuk sekedar sadar jika disekitarnya ada yang juga sedang memperjuangkan...