"STELLA!"
Stella langsung menegakkannya tubuhnya karena kaget.
"Kamu mikirin apa? Dari tadi ngelamun terus. Udah nggak minat jadi anggota club olimpiade biologi?" tanya Pak Joko dengan nada marah. Pembinanya ini memang terkenal galak.
"Maaf, Pak. Saya lagi agak pusing aja," jawab Stella lirih.
"Lo nggak papa?" tanya Gilang khawatir. Sementara anggota club yang lain juga menatap Stella dengan raut wajah cemas.
"Kamu pulang aja sekarang. Dari pada nanti makin sakit," ucap Pak Joko mulai melunak. "Nggak, Pak. Saya nggak papa," jawab Stella menolak. Ia kan hanya pusing, dan ia pusing bukan karena sakit, tapi karena memikirkan kejadian 3 hari lalu, dimana Adam benar-benar menguji emosinya. Dan selama 3 hari itu, Adam tidak pernah menampakkan wajahnya didepan Stella, ia tidak sekolah dan tidak pernah mengabari Stella.
"Saya nggak suka di bantah, Stella. Sekarang kamu pulang, besok setelah pulang sekolah kamu ada jadwal bimbingan tambahan sama saya," ucap Pak Joko dengan tegas.
Faldo yang berada selisih 2 meja dari Stella pun bangkit untuk membantu cewek itu merapikan buku-bukunya. "Pulang aja ya. Club ini, butuh lo," ucap Faldo lembut.
"Iya. Lo pulang aja, Stel, besok kan lo bisa bimbingan sendiri juga. Lo juga salah satu harapan sekolah," sahut Via yang disetujui oleh anggota yang lain. Pak Joko pun juga tersenyum tipis lalu mengangguk karena menyetujui ucapan Via.
"Thanks," ucap Stella tulus. "Gue pamit duluan ya," pamit Stella kepada anggota club olimpiade biologi yang lain setelah memakai tas ranselnya.
Lalu Stella menoleh kearah Pak Joko. "Terimakasih, Pak. Saya pamit ya, Pak," pamit Stella sambil mencium tangan guru pembimbingnya itu. Pak Joko mengangguk sekilas dan mengucapkan hati-hati kepada Stella sebelum cewek itu keluar dari ruang bimbingan.
Stella kini berada didalam sebuah taksi yang tadi kebetulan lewat didepan sekolahnya. Ia bahkan tak peduli dengan Stevan yang masih berada disekolah, sekarang yang ada dipikirannya hanya Adam. "Pak, berenti di situ ya," pinta Stella sembari menunjuk sebuah jalan untuk menuju lapangan basket kemarin, tempat dimana Adam menunjukkan perasaan kepada Stella.
Setelah memberikan beberapa lembar uang, Stella langsung berlari menuju lapangan basket. "Dam," panggil Stella pelan. Adam membuka topi jaketnya dan menatap Stella hangat. "Hai, Stel."
"Udah lama?" tanya Stella basa basi. "Baru 5 menit," jawab Adam.
Kini Stella sibuk mengamati wajah Adam yang lumayan rusak karena ulahnya. Ada luka di sudut bibirnya dan banyak sekali lebam-lebam yang ada di wajahnya. "Gue seneng lo mau dateng," ungkap Stella. Ya, tadi disekolah Stella mengabari Adam jika ia ingin bertemu dengan Adam di lapangan basket, tanpa Adit dan Raden tentunya, ia ingin meluruskan semuanya.
"Gue pasti dateng. Mana bisa gue nolak," jawab Adam sambil tersenyum pedih.
Stella mengalihkan pandangannya ke lain arah, ia tidak ingin di tatap sendu seperti ini oleh Adam. "Lo pasti tau kan kalau kita itu beda," ucap Stella memulai pembicaraan yang serius.
"Dan karena perbedaan itu, gue sama lo, nggak akan pernah jadi kita. Jujur, gue nggak nyangka lo punya perasaan lebih buat gue, sedangkan gue yakin lo bener-bener ngerti kalau gue sama lo nggak akan pernah bisa nyatu," lanjut Stella.
Adam menghela nafasnya. "Gue ngerti. Tapi gue juga nggak bisa bohongin diri gue sendiri. Bagi gue, yang penting gue udah jujur sama perasaan gue. Walaupun gue tau, gue nggak akan pernah bisa pacaran sama lo," jawab Adam.
"Selain itu, gue juga tau, hati lo bener-bener cuma milih Kak Faldo," lanjut Adam sembari tersenyum getir. Jadi begini rasanya ditolak mentah-mentah oleh seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing You [END]
Teen FictionIni kisah tentang seseorang yang sedang memperjuangkan perasaannya. Tapi ternyata, yang diperjuangkan malah memperjuangkan yang lain. Dan yang sedang berjuang, ternyata lupa untuk sekedar sadar jika disekitarnya ada yang juga sedang memperjuangkan...