Stevan berusaha menjahili Stella, berharap agar mood Stella dapat berubah. Ia paham ini juga salahnya yang membuat Stella berangkat dengan terburu-buru dan membuat Stella kelaparan. Dan karena kelaparan, Stella akan berubah menjadi dua kali lipat lebih sensitif dari biasanya, atau bisa dikatakan, senggol dikit bacok.
"Van!"
Stevan dan Stella sama-sama memberhentikan langkah mereka untuk melihat siapa yang baru saja menyapa Stevan.
"Kok lo sekolah, Do? Lusa baru masuk," tanya Stevan bingung melihat Faldo yang tiba-tiba berada di sekolah. Padahal murid kelas 11 dan 12 yang bukan panitia baru akan masuk lusa.
"Sengaja. Gue mau ngasi ini ke lo. Kebetulan juga ada Stella. Ini ucapan rasa terimakasih gue karena lo udah nolongin gue," jawab Faldo yang membuat Stella tak berkedip sama sekali. "Ganteng banget," batin Stella menjerit kuat.
Stevan tersenyum dan menepuk bahu Faldo pelan. "Udah kayak sama siapa aja sih lo. Sante aja kali, udah seharusnya kita nolongin lo."
"Yaudah kalau lo nggak mau nerima, gue ngasi ini ke Stella aja. Anggap aja ini ungkapan takjub gue ke lo. Lo bener-bener keren waktu itu," ucap Faldo menyodorkan plastik berisi makanan kepada Stella.
Stella melirik Stevan sekilas sebelum akhirnya Stevan mengangguk kecil. Dengan pelan Stella menerima plastik dari Faldo sambil menggumamkan ucapan terima kasih. "Gue yang harusnya makasih. Oh iya. Bunda sama ayah gue nitip ucapan makasih juga ke lo," ucap Faldo.
Deg.
Siapapun, tolong Stella. Tolong turunkan Stella, ia tidak mau terbang begitu saja, ia ingat ada gaya gravitasi yang sering kali membuatnya jatuh kembali disaat orang lain sudah membuatnya terbang tinggi.
"I-iya kak sama-sama. Lagipula itu cuma hal kecil," jawab Stella berusaha se-normal mungkin.
"Sorry nih, Do, Bunda udah nungguin dirumah. Takut kena ceramah lagi gue," ucap Stevan tidak enak. Namun Stevan berbicara jujur, Novi pasti sedang menunggu kedua anaknya dirumah dan menyiapkan sebuah ceramah panjang perihal kenapa bisa mereka berdua pulang se-sore ini. Atau mungkin bertanya lebih banyak ke Stevan mengapa bisa rapat panitia MOS saja sampai lama seperti ini.
Padahal tanpa Stella dan Stevan tau, Novi dirumah sedang cemas, terutama dengan Stella yang selalu menjadi lebih sensitif ketika sedang lapar. Novi baru ingat belum memberikan uang saku kepada anak-anaknya saat pukul 10 tadi, saat ia memikirkan kira-kira Stevan dan Stella membeli jajanan apa untuk mengganjal perut mereka.
"Gue balik juga kalau gitu. Sekali lagi thanks ya, Van, Stel," pamit Faldo. Stevan membalasnya dengan ucapan 'hati-hati', sedangkan Stella membalasnya dengan senyuman tipis dan sorot mata kehilangan. Iya, Stella paham jika dirinya ini bisa dipanggil dengan sebutan bucin.
Setelah Faldo menjalankan motornya keluar dari sekolah, Stevan segera mengajak Stella ke parkiran. Namun diam-diam Stevan mengamati gerak-gerik Stella yang aneh, atau bahkan yang tak pernah ia lihat sebelumya. Dan sudah dapat ia pastikan, jika adiknya itu memiliki perasaan kepada Faldo. Meskipun Stella cuek, galak, suka ngegas, manja, keras kepala, namun sepertinya bukan bakat Stella untuk menyembunyikan perasaan kepada orang lain, apalagi didepan Stevan. Mungkin didepan orang lain ia berhasil, bahkan didepan Novi dan Abi, namun ia gagal menyembunyikannya di depan Stevan, Stevan terlalu hafal sifat dan sikap Stella di kesehariannya.
Dirumah pun Stella langsung berdiam diri dikamar setelah makan siang, alasannya adalah ngantuk, namun Stevan yakin, Stella tidak sedang tidur. Mengingat tadi Stella makan pizza pemberian Faldo dengan lahap, namun makan masakan Novi dengan porsi yang lebih sedikit dari biasanya. Kenyang makan pizza katanya. Padahal Stevan dan Novi hafal jika Stella akan lebih memilih makan nasi ketimbang makan burger, pizza, roti, atau yang lainnya. Tetapi kali ini, beda. Mungkin karena pizza pemberian Faldo terasa 5 kali lipat lebih enak dari pizza biasanya. Maklum, pemberian cowok yang disuka.
Tanpa mengetuk pintu, Stevan membuka pintu kamar Stella lalu menutupnya kembali. "Ketuk pintu dulu elah. Gue teriakin maling tau rasa lo," ucap Stella datar.
"Nggak sopan banget. Untung ini yang masuk gue. Kalau Bunda atau Ayah mampus lo!" balas Stevan tak mau kalah.
Stella berdecak kesal sambil membalikkan badannya karena diposisi sebelumnya dirinya tiduran membelakangi Stevan. "Kenapa sih? Ganggu orang istirahat aja!"
"Duduk dulu lah. Gue mau ngobrol, bukan dongengin anak kecil kayak lo," ucap Stevan yang membuat Stella menggumam kesal sambil merubah posisinya dari tiduran menjadi duduk bersandar pada bantal dan mengahadap kearah Stevan.
"Ada apaan sih?!" geram Stella.
"Lo dulu satu sekolah ya sama Faldo?" tanya Stevan. Stella hanya menjawab dengan gumaman saja.
"Waktu SMP emang lo berdua ada kedekatan khusus gitu?" tanya Stevan. Stella mulai was-was, mengapa Stevan bertanya seperti ini.
"Kenal aja kagak. Paling gue yang kenal dia. Dianya nggak kenal gue," jawab Stella.
Dahi Stevan berkerut. "Kok bisa kayak gitu?"
"Waktu ada pentas seni. Kak Faldo tampil. MC nya nyebut sama Faldo waktu Kak Faldo naik panggung. Jadi ya gue tau makanya," jelas Stella.
"Tau namanya doang atau lebih?"
Stella bingung. "Ini sebenarnya lo mau ngomongin apa sih?"
"Lo suka ya sama Faldo?"
Jedarrr.
Stella panik. Ia kehabisan kata-kata. Ia bingung. Ini bagaimana? Stella harus menjawab apa?
"Apaan sih?! Udah ah, kalau nggak penting lo keluar aja lah, Bang," usir Stella mengalihkan pembicaraan.
"Lo suka sama Faldo?" ulang Stevan. Sungguh Stella makin panik dibuatnya.
Stella menatap Stevan sejenak lalu menghembuskan nafasnya pelan. "Waktu gue liat Kak Faldo di acara pentas seni, gue tertarik sama dia. Apalagi waktu tau dia tipe anak pendiem, beda sama anak cowok biasanya. Jago main alat musik, bisa sambil nyanyi juga. Bagi gue, itu perfect. Hampir tiga bulan gue ngumpulin info tentang Kak Faldo. Emang terbatas karena gue nggak punya temen juga. Waktu gue mau nerusin stalker, gue lupa kalau Kak Faldo bakal lulus. Akhirnya misi gue buat dapetin info dia lebih banyak sekaligus nomor HP-nya gagal. Tapi lucunya, gue nggak bisa lupain dia. Kepikiran terus. Sampe akhirnya gue sadar, 3 tahun ini gue suka sama orang yang ghaib kayak dia."
"Kenapa lo nggak pernah cerita sama gue kalau lo suka sama cowok?" tanya Stevan lembut. "Kita bisa kali saling curhat masalah hati kayak gini," lanjutnya.
"Karena gue sendiri bingung. Gimana bisa gue suka sama orang yang ghaib kayak Kak Faldo? Ketemu aja nggak. Bahkan kenal aja nggak. Tapi gue suka sama dia."
"Kan sekarang udah kenal," ucap Stevan sambil menaik-naikkan kedua alisnya.
"Kenapa sih alis lo?" tanya Stella bingung.
"Kejar lah."
"Hah?!"
"Kejar, La. Kalau bukan kita yang ngejar mau siapa lagi? Nunggu dia ngejar? Nggak mungkin lah," jelas Stevan.
"Ya karena lo cowok, makanya bilang gitu. Gini-gini gue cewek kali."
"Emang ngejar seseorang ada ketentuan jenis kelamin? Nggak masalah cewek atau cowok. Yang penting kejar dulu. Masalah nanti ditolak atau gimana, itu urusan belakangan. Namanya juga cinta, nggak cuma ada seneng, tapi ada juga sakit. Ibarat game, nggak selamanya lo menang, ada saat nya lo kalah. Sama kayak suka sama orang. Nggak selamanya lo diterima, ada saatnya lo ditolak. Tapi walaupun lo kalah, bukan berati lo nggak bisa menang dikesempatan lain kan?"
Stella tersihir dengan kata-kata Stevan. Ia tak menyangka jika Stevan akan seperti ini. Seharusnya sejak dulu ia lebih terbuka dengan Stevan. Lebih terbuka untuk masalah hati, bukan masalah pelajaran, ataupun masalahnya dengan Adam yang tak pernah selesai itu.
---
Hmm, ada yang pernah kayak Stella? Ketauan sama abangnya sendiri kalau lagi suka sama cowok?Btw, jangan lupa vote and comment ya biar aku makin semangat update-nya dan biar aku bisa tau juga kekurangan aku dimana.
Sampe ketemu di part selanjutnya. Mau spoiler dikit, Minggu depan bakal ada 2 part, dan salah satu part-nya adalah cast dari Chasing You ini. Ada yang bisa kasih saran kira-kira siapa aja yang cocok jadi cast Chasing You ini? Bisa banget tulis di kolom komentar.
Big love, Van.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chasing You [END]
Teen FictionIni kisah tentang seseorang yang sedang memperjuangkan perasaannya. Tapi ternyata, yang diperjuangkan malah memperjuangkan yang lain. Dan yang sedang berjuang, ternyata lupa untuk sekedar sadar jika disekitarnya ada yang juga sedang memperjuangkan...