"Baal, kamu lagi ngapain disini?"
(namakamu) menghampiri iqbaal yang tengah memutar-mutarkan tangan kanannya, Sepertinya tengah mengunci sebuah pintu kamar
"Kenapa kamu kunci kamar anak kita baal?"
Iqbaal menoleh dengan tatapan tajam, "Udah berapa kali aku bilang? Anak kita udah meninggal,"
Hati (namakamu) merasa sakit mendengar penuturan iqbaal. Sebegitu mudahnyakah suaminya itu melupakan anak mereka? Ia tau buah hatinya sudah meninggal tapi setidaknya tidak harus berucap apa yang sebenarnya? Walaupun raga anaknya belum ia lihat, belum lahir kedunia tapi setidaknya mereka-- terutama iqbaal menjaga omongannya, Ia tidak ingin anaknya kesal pada iqbaal
"kamu ga seharusnya ngomong kayak gitu baal," Lirihnya disusul dengan airmata yang menetes
Iqbaal memutarkan bola malas, "Aku ngomong sesuai fakta,"
"Tapi kamu gak seharusnya ngomong kayak gitu, Anak kita pasti sedih." sahut (namakamu) dengan nada yang tak suka
Iqbaal mendecak lalu ia melengos pergi meninggalkan (namakamu) dengan sejuta kesedihannya
"Mungkin ini rasa kesedihan kamu sayang, Maafin bunda."
"Kondisi ibu sudah membaik, rasa stress yang ibu alami sudah lumayan membaik. Saya sarankan ibu jangan terlalu kecapean, Jangan terlalu memikirkan hal yang tidak penting."
Terdengar helaan nafas membuat (namakamu) dan Dokter itu menoleh kearah iqbaal, "Istri saya itu, Suka ngebandel dok. Dia masih suka aja mikirin anak kami yang sudah meninggal,"
(namakamu) mengeryit, iqbaal mengadu?
"Sebisa mungkin ibu harus bisa melupakan anak ibu bu, Perlahan demi perlahan."
Bukannya tidak bisa, Ia memang tidak berniat untuk melupakan anaknya. Apalagi Dizza adalah anak pertamanya
"Denger (nam)," sahut iqbaal membuat (namakamu) meliriknya sekilas
bersambung..
maaf ya gais pendek:)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐉𝐢𝐰𝐚 𝐘𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐞𝐫𝐢𝐫𝐢𝐬 (𝐓𝐀𝐌𝐀𝐓)
General FictionPEMERAN CEWEKNYA YEEN, KALO JIJIK GAUSAH BACA! GAUSAH KOMEN!! (𝐅𝐎𝐋𝐋𝐎𝐖 𝐒𝐄𝐁𝐄𝐋𝐔𝐌 𝐌𝐄𝐌𝐁𝐀𝐂𝐀) (𝐂𝐎𝐌𝐏𝐋𝐄𝐓𝐄𝐃) '𝐇𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐬𝐚𝐭𝐮 𝐩𝐢𝐧𝐭𝐚𝐤𝐮. 𝐀𝐤𝐮 𝐦𝐨𝐡𝐨𝐧, 𝐣𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐬𝐚𝐤𝐢𝐭𝐢 𝐣𝐢𝐰𝐚𝐤𝐮 𝐥𝐚𝐠𝐢. 𝐂𝐮𝐤𝐮𝐩!"...