Gak mau banyak ngetik. Takut klean jengah baca tulisan bold ini. Gaada sangkut pautnya sama mamas ganteng kok sekarang.
Happy reading, dan jangan lupa voment-nya. Lvy!
...
Naya selalu menyukai bersapa ria dengan orang yang ia kenal--meski tidak terlalu akrab sekalipun. Hal itu dikarenakan dirinya memang ingin sekali menjalin pertemanan dan menambah relasi jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Terlepas dari itu semua, memiliki banyak teman itu menyenangkan--walaupun ia tidak bisa sembarang curhat karena mereka hanya teman. Tanpa embel-embel 'dekat'.
Tapi ada beberapa pengecualian dan beberapa orang yang enggan Naya temui. Alasannya adalah karena dirinya segan. Hal yang membuat Naya--yang selalu pandai bergaul--menjadi merasa tidak nyaman. Beberapa di antaranya adalah papanya sendiri, Cakra beserta istrinya, dan satu mantannya yang dulu pernah hampir melecehkannya.
Dan mereka semua berada satu ruangan dengan Agam Djatiharsono yang tadi memintanya datang dan membawakan salad buah. Menyebalkan. Naya bahkan tanpa sadar melangkah sambil menghentak-hentak karena sebal.
Padahal Agam sudah tahu apa pun tentangnya--karena Naya memang menceritakan segala sesuatunya pada lelaki itu. Tapi sekarang apa? Dirinya disuruh bertemu dengan orang-orang itu, begitu? Naya benar-benar tidak paham dengan pola pikir Agam.
Dan sekarang, rasanya Naya benar-benar ingin mengamuk dan memukuli Agam secara membabi buta. Belum cukup sampai situ saja, sepasang matanya juga menemukan Nesya--yang kembali berpenampilan seperti tukang aksesoris berjalan--memasuki ruangan yang ditempati Agam. God! Hasrat memaki-maki Agam mulai menggelak.
Jika tahu akan begini, pastilah Naya akan lebih memilih tetap tinggal di rumahnya saja.
"Nay ...."
Ia mengabaikan panggilan dari sebuah suara yang Naya hapal betul. Dirinya enggan menemui Agam dan sekarang justru ingin sekali melemparkan dua kotak salad buah yang ada dalam tentengannya ke kepala Agam.
"Kenapa pergi? Gue udah nunggu dari tadi." Agam tiba-tiba berada di sampingnya dengan tangan kanan memegang tangan milik Naya yang sedang meneteng paper bag. God! Seberapa cepat lelaki itu melangkah?!
"Minggir lo, Gam. Siang-siang udah bikin emosi aja!"
"Mana saladnya?" tanya Agam sambil menarik Naya supaya mengikuti langkahnya. Ia berniat membawa perempuan yang tengah marah itu masuk ke ruangannya.
"Males masuk ruangan elo, Gam." Naya merengek. Sangat berbanding terbalik dengan ekspresi Naya sebelumnya yang meledak-ledak.
Agam tersenyum segaris. "Rangga nggak bakal ngapa-ngapain. Kami sama Mas Cakra tadi kebetulan sedang membahas tentang kerja sama untuk proyek selanjutnya di Bali. Kebetulan gue butuh investor, dan mereka mau membantu. Kebetulan juga mereka ada urusan di dekat sini, jadi biar sekalian."
Halah, kalau lagi bahas kerjaan kayak gini aja baru ngomong banyak lo, Bambang! Naya memutar bola matanya malas.
Sejujurnya kenyataan tentang Agam yang memiliki cabang perusahaan di bali sangat mengganggunya. Karena yang Naya tahu, kota Bali adalah kota keramat bagi Tante Reni. Orang kesayangan Agam yang nomor satu--sampai kadang-kadang Naya geram sendiri, saat apa pun yang dilakukan Agam adalah atas kendali dari perempuan paruh baya yang masih memiliki sedikit keriput.
Naya pernah dengar dari Aldi, katanya, Bali adalah kota yang pernah memberikan kesakitan untuk Mamanya. Entah apa penyebabnya, ia tidak tahu pasti. Dan kini, Agam justru memiliki sebuah pekerjaan di sana? Apa tidak cari mati?
Karena sibuk melamun, Naya bahkan tidak sadar jika dirinya sudah duduk di sebuah sofa panjang dan berhadapan dengan dua orang yang sangat enggan ia temui. Meski begitu, Naya tetap mengembangkan senyum formalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Be Together (selesai)
ChickLitNayara Swastika punya hidup yang sempurna; menjadi model ternama, bergelimang harta, tak lupa paras cantik yang membuat siapapun terpesona. Namun, dirinya malah memilih meninggalkan karir modelingnya dan membangun sebuah kafe yang namanya langsung m...