25. Kenapa?

111K 12.3K 710
                                    

Pokoknya sebelum baca ini, kalian harus senyum dulu. Btw aku bener-bener pengin jadi manusia setegar Naya. Yaamsyong!

Thank you buat yang sudah menyempatkan baca, jangan lupa vote dan komennya biar aku semangat nulis. Hehe

Aku peringatkan, jangan terlalu berekspektasi tinggi dengan cerita ini. Konfliknya, idenya, semuanya mainstream. Kalo bosen yamaap. Akukan nulis cuma buat seneng-seneng diri sendiri aja🙂

Love, Pulpenabu.(g ada niatan follow aku di ig gitu? Followerku seuprit bgt wkwk [at]pulpen.abu)

...

Tidak. Harusnya tidak seperti ini. Naya tidak harus terluka karena mendengar pertengkaran orang tuanya dengan menyebut-nyebut namanya. Naya tidak harus merasakan seakan dirinya sedang ditikam belati mendengar nada penuh kemarahan dari mamanya. Naya tidak boleh seperti ini

Kini, sepasang bola mata itu berkaca-kaca. Sejauh Naya memandang orang tuanya selama ini, mereka adalah pasangan yang begitu serasi dan saling mencintai. Ia bahkan selalu berharap agar mendapatkan pasangan yang begitu mencintai sebesar dirinya mencintai orang itu, seperti kedua orang tuanya. Papanya adalah pria romantis, yang sering menyiapkan dinner khusus berdua bahkan mereservasi seluruh restoran rooftop hanya untuk membuat mamanya nyaman. Mamanya juga perempuan yang sangat perhatian, memasang dasi, memijit saat pulang kerja, dan selalu menampilkan senyum bahagia sepanjang hari ketika mereka berdua menghabiskan hari bersama.

Namun, kilasan kejadian romantis itu seakan hancur berkeping-keping saat telinganya mendengar Mama meminta berpisah. Dan Naya adalah penyebabnya. Ingin rasanya ia pergi sekarang juga, tetapi sepasang kakinya seakan dipaku dengan begitu kuat hingga untuk melangkah saja rasanya sangat berat.

Mamanya terus-terusan memohon untuk diceraikan, bahkan disaat suaranya perlahan memelan digantikan isakan yang terdengar begitu memilukan.

"Aku tau, Papa selama ini kesakitan. A-aku tau. Ceraikan aku, Pa. Aku tidak tahan melihatmu sakit sendirian. Biarkan aku pergi, aku tidak tahan melihat Naya selalu dikucilkan dan kehadirannya selalu membuatmu kesakitan."

"Kenapa Naya bukan anakku, Jani?" tanya Pak Ganesha dengan suara sarat akan luka. Membuat Naya semakin kesakitan dalam diam.

"Kamu tahu dari awal, mau sampai kapan kamu seperti ini? Melakukan tes berulang-ulang padahal hasilnya sama, kalau Naya memang benar-benar bukan anak kamu."

"Kenapa dia terlahir bukan sebagai anakku?" Suara Pak Ganesha semakin melirih, dan hal itu benar-benar mencabik perasaan Naya.

Lalu hening. Hanya ada suara isakan yang terdengar jelas di sepasang telinga Naya. Membuat jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Tidak. Jangan. Jangan lepaskan Mama. Naya tidak akan kuat mendengarnya.

Naya bermunajat dalam hati. Semoga hubungan orang tuanya tidak akan berhenti sampai di sini. Dan kalaupun ia adalah penyebabnya, maka ia yang akan pergi saja. Naya rela, asalkan keluarga Kalandra akan utuh selamanya.

Sedikit banyak Naya tahu, kalau dirinya adalah hanya seonggok daging yang hanya memberikan kesedihan di tengah kebahagiaan keluarga Kalandra. Naya tahu, kalau ternyata dirinya memang bukan anak kandung Pak Ganesha. Dan Gandhi lah yang memberitahunya. Tepat beberapa menit yang lalu.

Rasa sesak itu kian menjalar. Mengingat bagaimana Gandhi mengatakan sebuah rahasia yang sejujurnya tidak boleh diberitahukan kepada siapa pun. Bahwa Pak Ganesha memang sering sekali melakukan tes DNA karena meragukan salah satu anaknya yang bernama Kanaya Athalita Kalandra. Dan ia tahu betul nama itu.

Setelah beberapa waktu berpikir, Naya akhirnya ingat. Dulu sekali, sewaktu Naya masih belajar menulis, nama itu adalah nama yang ia tulis pertama kali. Namun, setelah beberapa tahun kemudian, tiba-tiba mamanya bilang jika ia harus menamai buku-bukunya dengan nama baru. Naya kecil tentu tidak paham, meskipun akhirnya tetap menuruti permintaan Bu Jani. Dan baru kini, Naya tahu penyebabnya.

Let's Be Together (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang