So sorry gengs :" real life bener-bener nggak membiarkanku menulis untuk sebentar saja. Buat yang masih menunggu, terima kasih dan happy reading!
...
Naya tahu, ketika dirinya memutuskan untuk mau menerima tawaran Gandhi, maka dirinya harus siap dengan konsekuensinya. Seperti Gandhi yang tidak suka berkirim pesan, tetapi langsung datang ke IYA CAFE sepulang kerja. Lelaki itu juga tidak segan-segan mengeluarkan uang ketika dirinya berbelanja--padahal Naya bisa membayarnya sendiri. Tapi yang membuatnya kesal adalah Gandhi suka sekali membandingkannya dengan seorang perempuan entah siapa.
Mungkin jika hanya sesekali, Naya tak akan ambil pusing. Tapi ini berkali-kali. Padahal hubungan mereka baru dua minggu, dan bertemu lima kali. Dan di lima pertemuan itu, Gandhi selalu mengungkit perempuan yang bernama Nina. Membuat Naya jadi kesal sendiri.
Dan sekarang, ketika lelaki itu tiba-tiba mengirimi pesan untuk mengajaknya makan malam di sebuah restoran rooftop ternama, Naya lebih memilih menemani Agam yang berkutat dengan iPad-nya, di rumah barunya. Sungguh, ini lebih baik ketimbang dirinya harus menemui Gandhi dan lagi-lagi mendengar lelaki itu membanding-bandingkannya.
Bagi Naya, berbaring berbantalkan paha Agam dengan televisi yang menyala adalah tempat paling nyaman sedunia setelah kamar. Terlebih dengan secangkir teh madu dengan irisan lemon yang masih mengepul di atas meja. Astaga, Naya bisa-bisa ketiduran di sini.
"Gam, lo mau nginep sini?" tanya Naya seraya memencet remot secara asal.
"Hm."
"Tapi di sofa, lho. Kamarnya cuma satu."
"Tau."
"Nggak papa emangnya?"
"Iya."
"Tau ah!" Naya mencebikkan bibirnya karena kesal dengan respons yang Agam berikan. Hell, padahal Naya ingin sesekali mereka berbincang banyak. Mereka ini sahabat, lho, tapi jarang sekali saling mengata-ngatai satu sama lain.
Ia memilih beranjak untuk mengambil dua buah pir sekaligus pisau dan piring. Daripada berbicara sendiri, lebih baik mulutnya ia gunakan untuk menggiling makanan. Dan Naya tahu, Agam pasti tidak akan membiarkan dirinya makan buah itu sendirian.
"Gabut banget gue." Naya mengeluh dengan tangan yang bergerak lihai mengupas pir. Satu-satunya kesamaan Naya dan Agam adalah, mereka sama-sama tidak suka makak pir beserta kulitnya. "Lo nggak ada cita-cita ngajak gue ke mana, gitu, Gam?"
"Mau ke mana memangnya?"
"Ya mana gue tau, lah!"
Agam tak lagi menjawab, malah asyik sendiri dengan ponsel yang kali ini menggantikan iPad-nya. Menyebalkan. Baiklah, Naya tahu diri kalau ia memang seperti angin. Ada tapi tidak terlihat.
Naya menyuapkan pir dengan potongan besar ke mulutnya sendiri lalu menggigitnya gemas. Sungguh, jam baru menunjukan pukul setengah delapan malam, tetapi dirinya harus terkurung dengan lelaki kaku--yang sayangnya adalah sahabatnya--sampai jam berapa pun nanti. Padahal tadi ia melihat—dan sengaja memiringkan ponsel pada Agam agar lelaki itu melihat— instastory milik Reya yang sedang berada di food festival bersama suaminya.
Memangnya kodenya kurang keras ya tadi?
Padahal kan dirinya sekarang sudah tidak lagi menjadi model, jadi mamanya--walau dengan perdebatan yang cukup alot, akhirnya Bu Jani mau menerima keputusannya untuk berhenti-- sudah tidak mengekangnya lagi perihal menu makanan. Naya hanya perlu menjaga pola makannya, dan sepertinya, sekali saja makan banyak yang penuh dengan minyak tidak akan membuat tubuhnya langsung semelar gajah. Toh dirinya bisa datang ke gym atau ke apartemen Agam untuk memakai treadmill laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Be Together (selesai)
ChickLitNayara Swastika punya hidup yang sempurna; menjadi model ternama, bergelimang harta, tak lupa paras cantik yang membuat siapapun terpesona. Namun, dirinya malah memilih meninggalkan karir modelingnya dan membangun sebuah kafe yang namanya langsung m...