27. Please Stay

123K 11.8K 396
                                    

Maap kalo ga ngefeel. Pokoknya maap ya gais. Maap banget. Aku lagi sangat berat menulis cerita ini karena bentaran lagi mungkin ending. Makanya ngaret juga, dahal ide cerita baru udah banyak yang ngantri di pala aku.

Komennya dong gais :(
...

Agam langsung berjalan menuju tempat tinggal Naya begitu mobilnya terparkir di depan IYA CAFE. Perempuan yang telah menjadi kekasihnya itu tidak bisa dihubungi sejak beberapa hari terakhir. Hal yang membuat Agam merasa ada yang janggal--karena biasanya Naya adalah tipikal pacar yang suka sekali merusuhinya bahkan ketika ia sedang bekerja.

Ketika melewati bagian lantai satu, Agam menyapa beberapa karyawan yang kebetulan berpapasan. Dirinya harus memastikan sesuatu, karena ia merasa aneh terlebih dengan pesan yang dikirimkan Januar beberapa waktu lalu.

Januar:
Jaga adek gue. Gue percaya sama lo.

Setelah sampai di depan pintu rumah Naya, tangan Agam sontak mengetuk--hal yang selalu ia lakukan karena Naya memang suka sekali ceroboh dengan memakai baju minim ketika dirumah.

Sekali, dua kali, Agam tidak mendapatkan hasil apa pun. Padahal tadi saat dirinya sampai di bandara, ia sempat mengirim pesan pada perempuan itu. Agam mengambil ponsel dan menelepon Naya, tetapi tidak menghasilkan apa pun. Naya benar-benar aneh.

"Swastika, lo ada di dalam?" ujar Agam sembari mencoba mengetuk pintu kembali. Ia berdecak kala tidak mendapatkan jawaban lagi. Perempuan itu memang tidak pernah berubah. Selalu menyebalkan.

"Mas, Mas Agam."

"Ya?" Agam berbalik ke sumber suara. Ada Kara yang terlihat mengatur napas.

"Saya nggak tau apa yang terjadi sama Mbak Naya, tapi, beberapa hari ini dia nggak keluar sama sekali. Saya takut terjadi apa-apa, tapi juga nggak bisa nglakuin apa-apa karena takutnya melanggar privasi. Jadi, saya cuma mau ngasih kunci cadangan ini, siapa tau Mas Agam butuh." Kara menyodorkan sebuah kunci.

"Thank you, Kara. Saya memang butuh." Agam menerima kunci itu dengan tenang, lalu membuka pintu dengan hati-hati. Bisa jadi Naya sedang tidur, dan Agam sama sekali tidak ingin mengganggunya.

Namun, dugaannya salah. Yang Agam lihat pertama kali saat dirinya berhasil memasuki rumah minimalis itu adalah Naya yang sedang memainkan ujung tirai putih, dengan mata yang menatap kosong pada pemandangan jalanan yang terlihat padat. Agam tidak paham, kenapa perempuan itu memilih duduk di lantai, padahal ada sofa bed yang terlihat nyaman di samping Naya.

"Nay, gue pulang."

Naya tak bergeming, dan masih asyik dengan dunianya sendiri. Andai situasinya berbeda, pastilah Agam akan langsung menyuruh perempuan itu masuk kamar dan mengganti baju. Naya dengan tank top dan hot pants adalah perpaduan yang berbahaya.

"Nay, lo dengar gue bicara?"

"Denger, Gam, tapi gue lagi males ngomong," jawab Naya dengan suara pelan akhirnya. Perempuan itu masih tidak menolehkan wajah, dan Agam semakin bingung karenanya.

"Kenapa? Gue ada bikin salah?" Perlahan, Agam mendekati Naya dan mengambil posisi berjongkok di samping Naya persis.

Perempuan yang menjadi kekasihnya itu menggeleng, dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Naya tersenyum, "Gue pengin ngasih tau sesuatu, tapi takut lo pergi nanti. Lo udah kunci lagi pintunya?"

Agam menurut begitu saja, lalu memberikan kunci cadangan yang tadi ia pakai. Sungguh, Agam benar-benar bingung sekarang.

...

"Lo tahu, Gam? Gue kadang bisa jadi sangat egois tentang apa yang pengin gue dapatkan." Naya menatap tepat di manik mata milik Agam. Sungguh, dirinya sangat merindukan lelaki pendiam itu. Sejak tadi, dirinya sudah sangat ingin menangis karena meratapi nasibnya--sekaligus ingin menangis karena akhirnya Agam datang juga. Namun, ada beberapa hal yang harus ia katakan pada lelaki itu, dan Naya harus menahan tangisnya lebih lama.

Let's Be Together (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang