15. Mulut Membawa Petaka

117K 12.8K 573
                                    

Mulai sekarang, i'll try buat menulis produktif lagi. Jadi, klean jangan pergi dari Agam dan Naya yah. Hwehehe

Jaga kesehatan dan atay safe ya gengs!

Jangan lupa vote, komen, dan happy reading!

...

Naya tidak mau keluar dari kamar tidurnya padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Sungguh, dirinya sangat malu karena semalam ia menangis di hadapan Agam seperti anak kecil. Memalukan.

Padahal sepanjang dirinya mengenal Agam, Naya hampir tidak pernah melakukan itu. Dan ternyata, semuanya ada penyebabnya. Sewaktu bangun tidur tadi, dirinya kedapatan menstruasi. Mood-nya memang mudah sekali rusak ketika akan menstruasi, dan sering kali Agam akan menjadi bahan pelampiasannya dengan mengomel panjang lebar--untuk masalah yang sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Dan setelahnya nanti, lelaki pendiam itu akan membawakannya jamu kunir asem. Tapi kali ini entah mengapa dirinya justru menangis. Mungkin karena semalam semua orang membuatnya kesal.

Baru saja berhenti memikirkan Agam dan jamu kunir asem, ponselnya berdering. Naya mencari-cari dan menemukannya di bawah bantal guling, lalu melihat siapa peneleponnya. Panjang umur. Naya bahkan beberapa kali berpikiran jika lelaki itu punya indera ke enam yang bisa merasakan jika ada orang yang sedang memikirkannya.

Naya membiarkan panggilan itu cukup lama, hingga akhirnya terputus, lalu Agam meneleponnya lagi. Supaya lelaki itu hanya tahu jika dirinya baru bangun tidur. "Ya, Gam?" ujarnya dengan suara yang dibuat seserak mungkin. Agar semakin meyakinkan.

"Bangun. Jamunya ada di meja makan."

Sungguh, Naya ingin sekali bersiul. Sahabatnya ini, kadang memang yang terbaik. Dirinya bahkan yakin, jikalau di dunia hanya hidup dengan Agam, ia sanggup. "Makasih. Lo udah pulang?"

"Nunggu lo keluar."

Huh?

"Cepetan."

"Mau ngapain emang?"

"Sarapan, lalu pulang."

Naya berjalan cepat dan membuka pintu. "Gue kira lo sarapan di luar tadi," ujarnya seraya melangkah ke dapur. Ia mulai bersiap memanggang roti.

"Nggak." Agam menatapnya lekat Naya yang sedang fokus dengan rotinya. "Gue harus jemput Nesya."

Mengangguk singkat, Naya tetap melanjutkan sarapannya meski untuk kesekian kali, Agam telah mengubah mood-nya dengan sangat mudah dalam satu jam ini. Sudah cukup dirinya mempermalukan diri sendiri semalam, dan kini ia akan membiarkan lelaki itu lolos dari repetannya.

Tatapan lekat yang selalu lelaki itu tunjukkan ketika mengatakan akan menemui seorang perempuan adalah sebuah peringatan, bahwa dirinya tidak boleh mengganggu pertemuan lelaki itu. Tapi pada dasarnya Naya memang tidak takut sama sekali pada Agam, makanya dirinya tidak pernah mau menurut. Tapi untuk kali ini saja, Naya akan membiarkan Nesya tenang bertemu sahabatnya.

Karena selain itu, mungkin saja Gandhi akan mengajaknya kencan hari ini. Terbukti dari puluhan missed call dari lelaki itu sejak semalam. Seketika Naya merasa bersalah. Mungkin nanti dirinya akan membawakan pudding stroberi kesukaan Gandhi sebagai sogokan supaya lelaki itu tidak marah. Bukankah memang seharusnya seperti ini? Dirinya dan Agam memiliki pasangan masing-masing dan tidak ada hal yang akan merusak persahabatan mereka? God, membayangkan kalau mereka akan double date membuatnya bergidik.

"Gam, kalo nanti siang kita lunch bareng, gimana? Lo sama Nesya, gue sama Gandhi."

...

Naya kira, makan siang tanpa rencana yang ia katakan akan berjalan seperti biasanya--meski sedikit banyak ia menyesalinya. Namun, nyatanya semua begitu menyebalkan karena dirinya justru merasa terabaikan.

Let's Be Together (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang