MWTBB 31

6.4K 505 139
                                    

***

RUANGAN itu tampak gelap tanpa ada setitik pun pelita. Sunyi, tidak ada suara yang menggema kecuali deru napas memburu milik Rian.

Cowok itu kini terduduk pada dinginnya lantai, menyandarkan kepalanya pada pinggiran sofa sebagai bentuk keputusasaan.

Rasanya terlalu brengsek, dan tidak bisa diterima dengan akal sehat jika kenyataannya saudara tiri yang selama ini sangat ia benci justru adalah Rizky, seseorang yang bertahun-tahun menjadi sahabat, bahkan teman sebangkunya.

Sejak lama, seringkali ia melampiaskan sesak dengan berkumpul bersama Rizky dan Jonathan, tanpa pernah mengetahui jika salah satu dari mereka ada sumber utama dari pahit dalam kehidupannya.

Perselingkuhan mamanya benar-benar membuat keluarganya hancur berantakan. Rumah yang hangat dan penuh kebahagiaan seketika berubah menjadi neraka yang selalu siap membakar.

Kedua orang tuanya saling membenci, lalu kemudian bercerai.

Hanya butuh waktu hitungan hari, keduanya memilih bahagia dengan keluarga barunya masing masing. Melupakan dengan begitu saja seorang anak yang pernah terlahir di tengah hubungan mereka.

Tidak ada satupun dari orangtuanya yang menginginkan kehadirannya, yang mengajaknya untuk tinggal bersama, dan ia pun tidak sudi mengemis untuk hal itu.

Ia dibuang dan ia bersumpah untuk hidup sendiri dengan kedua kakinya sendiri meskipun kesendirian sering kali terasa dingin dan menyiksa.

Rian meraih botol yang tergeletak di sisi, kali ini bukan untuk meneguk isinya, namun untuk membanting ke sembarang arah, tidak peduli jika pecahan-pecahannya itu bisa saja melukai dirinya sendiri.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Lari?
Kemana lagi?

Ia terus berlari dalam kurun waktu yang cukup lama, namun apa hasilnya? Ia seolah hanya berputar dalam lingkaran luka yang sama.

Luka itu selalu menghantui, menusuk setiap kali ia lengah.

Sama seperti sekarang ini, tiba-tiba percakapannya dengan sang mama beberapa jam lalu kembali berputar, pelan, layaknya sebuah kaset lama.

Bayangan yang semula semu itu perlahan menjadi nyata, terlalu nyata hingga ia merasa kejadian itu sedang terjadi persis di depan matanya.

"Rian"

Rian terus melangkahkan kaki dengan langkah-langkah besarnya, sama sekali tidak menghiraukan panggilan dari perempuan yang tertinggal beberapa langkah di belakangnya. Sekarang, tidak ada apapun yang ingin ia lakukan kecuali keluar secepat mungkin dari koridor rumah sakit ini.

"Sayang, tolong…, Mama hanya ingin bicara sebentar"

Ia dapat mendengar nafas yang tak beraturan milik mamanya, suara wanita itu terdengar setengah serak, khas orang yang baru saja menangis.

"Rian"

Ia masih bertahan untuk terus berjalan, menahan kuat-kuat lehernya supaya tidak menoleh kebelakang, menjemput semua luka-luka yang siap menerkamnya itu.

Ia sudah hampir sampai di penghujung koridor hingga suara benturan keras itu membuat langkahnya terhenti.

Rian menoleh, mendapati mamanya yang sudah terjerembab di lantai, sepertinya mamanya itu baru saja menabrak brankar kosong yang tengah didorong oleh dua orang perawat.

Melihatnya, dengan gesit ia berlari menghampiri. Entah terbang kemana semua rasa benci itu ketika melihat perempuan yang telah melahirkannya itu terluka.

 𝑀𝒶𝓇𝓇𝓎𝒾𝓃𝑔 𝒲𝒾𝓉𝒽 𝒯𝒽𝑒 𝐵𝒶𝒹 𝐵𝑜𝓎 (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang