1. Awal Mula

402 28 1
                                    

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Heyoo, selamat datang. Cerita ini hanyalah fiksi. Ambil baiknya dan buang buruknya. Saya membuka pintu lebar-lebar bagi yang ingin memberikan kritik dan saran. Jangan sungkan-sungkan untuk menegur jika ada kesalahan, ya. Terima kasih.

Happy reading!

***

"Senyum manismu di hadapan saudaramu adalah shadaqah." (HR. Tirmidzi)


***

Malam pekat. Hujan deras. Rumah reot berdinding anyaman bambu itu pasrah saja ditimpa air sedemikian lebat. Sekilas, ia terlihat begitu rapuh. Barangkali akan roboh jika angin kencang turut serta melengkapi suasana malam ini. Ranting-ranting pohon rambutan menunduk mengenai atap. Beberapa helai daun kering memenuhi sekitaran rumah itu.

Wanita renta berusia lima puluh tahunan sibuk menadah air hujan yang menerobos masuk lewat atap dengan sebuah ember kecil, usaha agar dalam rumahnya tidak banjir. Tinggal sebatang kara membuat wanita itu terpaksa mengerjakannya sendirian. Ia sudah menaiki kursi untuk memperbaiki atap rumahnya ketika telinganya menangkap suara kendaraan dengan jelas.

Ini sudah pukul sepuluh malam. Siapa tetangga yang pulang bekerja selarut ini?

Ia hendak mengabaikan suara itu, kembali melanjutkan rencana semula memperbaiki atap. Namun, ketukan pintu yang disusul salam berulang-ulang membuat gerakannya terhenti.

"Wa'alaikumussalam. Sebentar!" teriaknya, menghentikan suara ketukan itu. Sejujurnya, ia agak tak berani membuka pintu selarut ini, tetapi tak punya pilihan lain. Berbekal ucapan basmalah dalam hati, wanita itu bergegas membuka pintu.

"Nyonya!" Ia membelalakkan mata. Tatapannya terpaku pada bayi merah di gendongan wanita yang ia panggil nyonya. Ia mengalihkan pandangan. Perut sang nyonya yang beberapa waktu lalu membesar kini telah mengecil.

"Nyonya, silakan masuk. Maaf rumah saya berantakan."

Manakala tamunya itu terduduk di sofa lusuh sembari menangis, ia tak bisa lagi menahan rasa penasarannya. "Nyonya Asti, apa yang terjadi? Ada apa ke rumah saya malam-malam?" tanyanya lirih. Suaranya hampir dikalahkan oleh melodi hujan.

"Mbok Mar, saya titip anak saya."

Petir yang tiba-tiba menyambar, bergemuruh pula dalam hati Marsinah. Mata tuanya menatap Asti tidak percaya.

"Saya tidak tahu harus kemana menyembunyikan bayi ini selain ke Mbok. Saya pikir, Mbok dapat merawat anak saya dengan baik." Wanita itu terisak hebat, menuntun Marsinah untuk mengusap punggung majikannya.

Marsinah tertegun. Ditatapnya bayi tak berdosa itu. Menggemaskan. Mata mungilnya memejam tenang. Suara hujan tidak membuatnya terganggu.

"Saya mau pergi. Jauh. Jauh sekali. Saya akan memulai hidup baru di sana, tapi saya tak sanggup membawa bayi ini." Asti memandang pembantu setianya penuh harap. "Tolong jaga anak saya, sampai saya kembali suatu hari."

Hati-hati sekali Asti menyerahkan bayi itu kepada Marsinah. Lantas, ia meraih sebuah amplop dari dalam tas mewahnya dan menaruhnya ke atas meja. "Ini biaya untuk merawat anak saya, sekaligus gaji untuk kerja keras Mbok selama ini."

Haura And Her Soldier ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang