•Ngebuburit•

65 13 9
                                    

Enjoy the story, yap!
_____

Sore itu, Adibran dan Aqilla benar-benar berusaha membunuh rasa bosan. Berlandaskan ide cemerlang Adibran, mereka berdua memutuskan untuk pergi ke taman di dekat lampu merah. Dekat sih, tinggal jalan kaki dari rumah.

Taman itu selalu terlihat ramai oleh manusia beragam usia, dari balita sampai lansia. Tapi satu hal yang membuat Adibran enggan pergi ke taman itu seorang diri. Ya, tempat itu menjadi favorit muda-mudi untuk jalan sama doi, atau sekedar pedekate. Gak tau kenapa, roman-romannya itu pas banget, semacam anak abg yang lagi kasmaran. Maka, gak aneh lagi kalau banyak kakek-nenek yang menghabiskan waktu di taman itu. Selain pemandangannya yang bagus, taman di dekat lampu merah ini pun masih terjaga keasrian dan kebersihan dari sampah-sampahan, kecuali mantan. Ehm.

Kalau untuk pasangan lansia sih cocok ya buat flashback mengingat masa muda mereka. Waktu masih manggil ayang-bebeb gitu.

"Aqilla ketemu Issabela Graciera, Bang! Kita bahkan udah jadi temen!" Seru Aqilla berapi-api.

"Siapa tuh?"

"Itu lho, juara angkatan di sekolah. Aslinya lucu banget tau, Bang!!" Pekik Aqilla yang tak sadar situasi.

"Gak usah teriak juga kali," bisik Adibran dengan wajah datar. "Eh, emangnya dia mau temenan sama bala-bala macam kamu?"

"Mau dong, Bang. Inget ya, aku sebagai bala-bala ngerasa bangga. Walaupun dipandang murahan, tapi isinya sayur-sayuran, nyehatin orang-orang. Terus kan banyak yang suka pula! Aqilla banget deh!" Jawab Aqilla berseri-seri.

Adibran mendengus. Adiknya ini mengapa jadi gesrek seperti ini!? Ya Allah..

"Abang saranin, kamu gak usah berteman sama keturunan Albert Einstein kek dia," kata Adibran.

Kening Aqilla spontan berkerut, ia lantas bertanya. "Abang tahu dari mana kalau Issa itu keturunan Einstein? Aqilla kok gak tahu, ya?"

Adibran lagi-lagi dibuat mendengus. "Ya maksud Abang, jeniusnya itu, lho."

"Katanya, Einstein itu di sekolahnya gak pernah ranking tapi, Bang. Issa, kan, ranking terus," protes Aqilla dengan wajah polosnya.

"Aqilla sayang, pokoknya maksud Abang itu, kamu gak perlu lah temenan sama orang-orang pinter lagi."

"Lha, kok? Kenapa?"

"Karena ternyata, semakin Aqilla pinter, semakin tinggi juga tingkat menyebalkan Aqilla. Abang gak mau itu terjadi. Kamu bakal tetep jadi adik penurutnya Abang," jelas Adibran. "Lagian, kalo kamu berteman sama yang pinter, nanti kamu ketularan pinter. Semakin pinter deh."

Aqilla menggeleng-gelengkan kepalanya. "Abang ngomong apa sih? Aqilla gak ngerti."

"Udah, udah! Gak usah banyak pikiran, atau kamu bakal cepet tua," kata Adibran seraya mengibas-ngibaskan telapak tangannya.

Aqilla hanya meliriknya sekilas. Abangnya ini cocok sekali diberi gelar  sebagai orang tergaje se-Indonesia.

Setelah aksi debat yang terjadi di antaranya, keduanya sama-sama terdiam. Aqilla menolehkan kepalanya ke kanan-kiri, lalu ia menggaruk pipinya. Bosan. Niatnya ke sini kan, untuk membunuh bosan. Kalau masih bosan, berarti ide Adibran yang katanya "cemerlang" itu kurang mujur.

"Bang," panggil Aqilla. "Nyanyi dong. Udah lama semenjak kepindahan kita ke rumah baru, Abang jarang nyanyi-nyanyi lagi."

"Eh?" Adibran mengangkat sebelah alisnya tinggi sekali.

"Kamu ngefans juga sama Abang?" Tanya Adibran dengan seringaian yang terpatri di wajah tampannya.

Plak!

Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang