•Jangan benci, ya?•

144 32 15
                                    

Happy reading!^^

Semilir angin datang menyapu halaman rumah keluarga Alder. Di teras rumah, Aqilla duduk sudah hampir setengah jam dengan raut wajah sendu. Bahkan, kedatangan Puspa dan Fadia yang membawa kolak pisang pun tak ia sadari.

"Eh? Aqilla? Ternyata kamu di sini, ya." Fadia ikut duduk di sebelah putrinya dengan sebuah keranjang berisikan belasan kolak pisang yang ia simpan di sampingnya.

Mendengar sang mama memanggil, Aqilla pun menoleh dengan mata yang berkaca-kaca. Si kecil ini mudah sedih, dan ia selalu pura-pura sok tegar.

"Eh? Sayang, kamu kenapa?" Puspa yang sejak tadi hanya menonton pun turut berjongkok di depan Aqilla dengan satu keranjang yang sama dengan yang dibawa Fadia disimpan di sampingnya.

"Aqilla sedih..," lirihnya kecil. Raut wajahnya begitu terlihat nelangsa.

Flashback on

"Kira-kira, Kakak tampan ini mau jadi pacar Qilla, gak?"

Beberapa menit setelah kesunyian yang menerpa ruangan itu, wajah Nadia terlihat memerah sampai ke telinga. Mungkin dia menahan malu dan geram?

"Sudah jelas ini paket milik saya. Saya bawa sekarang, terimakasih," ucap Nadia datar. Lalu tangannya meraih lengan Aqilla dan menyeretnya keluar segera, meninggalkan ketiga orang di dalam ruangan itu yang tampaknya belum mengerti apa yang telah terjadi.

Langkah kaki Nadia yang lebar membuat Aqillla berjalan terseok-seok, benar-benar menggusurnya dengan tak berperasaan.

"Ceu, jangan kecepetan," protes Aqilla. Namun, Nadia tidak meresponnya sedikit pun. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi.

Saat sampai di depan kantor pos, banyak pasang mata yang menatap mereka heran, hingga Nadia melipir ke balik pohon besar, dan membalikan badannya sehingga kaki Aqilla spontan menubruk sepatu yang dipakai Nadia.

"Lo bisa gak sih gak malu-maluin gue?" Aqilla menatap Nadia takut-takut, kakaknya kini tampak sebagai iblis yang menjelma menjadi manusia. "lo tau kan, gue gak pernah suka dipermaluin?"

Aqilla meneguk salivanya susah payah. Intonasinya tidak tinggi, tapi penggunaan kata ganti 'gue-lo' yang digunakan Nadia membuatnya gugup setengah mati. "Lo itu kenapa nyusahin sih!?" Tanya Nadia lagi dengan nada rendah, tetapi ada penekanan dalam setiap kata yang terlontar. Giginya bergemelutuk dengan matanya yang menatap bengis, seperti hendak menggorok leher Aqilla saat itu juga.

Demi apa pun, Aqilla ingin sekali teriak merutuki dirinya yang tadi sampai keceplosan. Namun, apalah daya ia sekarang? Yang bisa dilakukan hanyalah menunduk dengan gelisah.

"Sialan, lo!" Nadia menendang kerikil di dekatnya sembarang. Ia mencoba mengendalikan dirinya, tapi tangannya masih saja mengepal kuat di samping kanan-kiri tubuh.

"Mending sekarang lo balik sendiri ke rumah, biar gue sendiri yang beli bahan-bahan buat kolaknya," putusnya mutlak.

Agaknya, Nadia sudah dapat mengendalikan dirinya lagi. Terlihat dari beberapa kali ia mengambil dan menghembuskan napas, dengan kepalan tangan yang mulai mengendur.

"I-iya, Ceu."

Setelah mendengar respond dari Aqilla, Nadia lantas benar-benar pergi meninggalkannya sendiri. Sementara Aqilla, dia beranjak dari balik pohon dengan bingung. Pasalnya, ia tidak pernah pergi sejauh ini sendirian.

Aqilla kini berdiri di pinggir pagar kantor pos. Tangannya bergerak merapikan anak rambutnya yang turun menutupi wajah. Mau bertanya, tapi malu juga. Fyuh.

Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang