•Gagal paham•

280 55 29
                                    

Adibran menggeliat, perlahan ia mengintip melalui bulu matanya yang lentik. Sedetik kemudian, ia melompat dari kasur dan menatap jam dinding di kamarnya.

Pukul 02.35 dini hari.

Wajahnya yang tadi masih mengantuk, tiba-tiba berbinar gembira.

"Sahuurr! Sahuuur! Ma! Pa! Dek! Ceu! Teh! Sahuur!" teriaknya sembari berlari-lari kecil keluar dari kamarnya, lalu memutari meja makan.

Ini adalah tanggal satu Ramadhan. Di mana seluruh umat muslim di seluruh permukaan bumi akan melaksanakan ibadah puasa selama 30 hari ke depan, dan Adibran sangat semangat menyambut bulan suci penuh berkah tahun ini.

"Ada apa sih, Bang? Ini masih tengah malam," gerutu Alder selaku kepala keluarga sembari keluar dari kamarnya dengan mulut yang bergerak terbuka lebar--menguap.

BRAK!

Pintu kamar lain terbuka cepat, disusul dengan pintu-pintu kamar yang berada di sampingnya ikut terbuka juga dengan perlahan.

"Apa banget sih! Gue baru aja bisa tidur sejam yang lalu dan lo ganggu tidur gue!" protes Nadia si anak sulung dengan rambut jabrig bak singa dari rimba.

Dengan memeluk boneka kesayangannya, Aqilla berjalan menuju tempat Adibran berdiri. "Abang pasti ngelindur," katanya lucu dengan mata setengah tertutup, lalu dengan segenap amunisinya ia mencubit lengan Adibran.

"Aw! Aduh!" pekik Adibran kaget. Ternyata cubitan Aqilla keras juga, meskipun dia menyubit dengan mata setengah tertutup. Wow!

"Masih jam sebelas, Abang!" cibir Puspa pelan, lalu kembali bergegas memasuki kamarnya. Ia pikir, kesintingan abangnya ini tidak usah dibawa pusing.

Nadia dan Alder pun turut kembali memasuki kamar masing-masing, seperti yang dilakukan Puspa.

"Kamu mending tidur lagi aja ya, Bang." Sang Mama--Fadia, berbalik untuk menyusul suaminya ke dalam kamar.

Serentak, semuanya bubar. Meninggalkan Adibran dan si manis Aqilla yang tertidur di atas kursi meja makan sembari memeluk boneka panda besar.

"Jadi gue salah, ya?" monolog Adibran sembari menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.

*****

"Permisi! Paket!" teriak seorang kurir yang tengah berdiri di depan gerbang rumah elegan berwarna gold yang terkesan mewah dilihat dari sudut mana pun.

"Iya!" Seorang lelaki dengan celana selutut dan kaos oblong yang melekat di tubuhnya bergegas keluar dari pekarangan rumah dengan berlari-lari kecil. Ia bergerak membukakan gerbang rumahnya tanpa alas kaki. Catat! Tanpa alasa kaki!

"Misi, Mas. Ini ada paket. Atas nama--"

"Iya itu punya saya, Mas!" serunya terburu-buru tatkala melihat sebuah benda yang terbungkus plastik keluar dari tas kurir di hadapannya ini. Ia sudah tidak sabar menerima benda pesanannya ini.

Kurir yang tidak diketahui namanya itu hanya melongo ketika Atlanta merenggut paket yang semula ada di tangannya secepat kilat.

"Tanggal datangnya lebih cepat dari perkiraan ya, Mas," katanya sembari memiring-miringkan paket yang berada digenggaman tangannya.

Kurir yang masih berdiri di hadapan Atlanta itu hanya terdiam, sampai ia menyodorkan sebuah kertas dan penanya. "Ditandatangani dulu, Mas, sebagai tanda bukti penerimaan."

Dengan cepat dan tangkas, Atlanta memberikan tandatangannya, dan menyerahkannya kembali.

"Kalau gitu saya permisi, Mas." Atlanta mengangguk diiringi langkah kaki kurir yang beranjak menuju sepeda motornya.

Perlahan, ia meraih helm yang tergantung di kaca spion. "Margareta itu kesannya lebih kecewean deh ketimbang cowok maco kayak mas-mas yang tadi. Masa salah kirim sih?" gumamnya sembari menyipitkan mata, mengingat nama yang seharusnya menjadi sang penerima paket tersebut.

Kepalanya yang hendak dimasukkan ke dalam helm pun urung. Ia malah menoleh ke belakang, melihat nomor rumah yang terpatri di depan gerbang.

Nomor 88.

Persis seperti yang tertera dalam surat pengiriman. Kurir yang masih belum beranjak itu menghela napasnya. Ia lalu menggeleng-gelengkan kepala, mengusir keraguan yang seketika bersemayam di dadanya.

Siapa tahu Margareta itu nama mamanya atau saudarinya.

Keputusan pun sudah bulat! Kurir itu memilih untuk tetap berpikiran positif.

Ya! Ketika seseorang berpikir positif, maka masih ada kesempatan untuk mendapatkan keajaiban. Namun, jika seseorang berpikir negatif, maka nikmatilah hati bimbang yang kian mengambang.

Tapi, yang benar itu siapa Margareta?

                                 🍨🍨

Segini dulu nih part pertama, aduh perdana asa deg-degan, wkwkw.

Masih part 1 belum apa-apa yaa. Baca part selanjutnya jangan lupaaa!^^

Vote + Comment + Share! Gratististis wei, hihi.

Semangat puasanyaa. See you*

Cuap-cuap,

-Kay

Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang