•Hujan•

50 8 5
                                    

Hujan deras perdana di bulan Ramadan tahun ini, turun di malam jumat. Rintik itu turun satu persatu, tetapi serentak. Siapa pun yang bersikukuh menerobos hujannya, pasti basah kuyup habis-habisan.

Bagaikan turun tanpa suara gemericik, nyatanya hujan tidak mengganggu seseorang. Terbukti dengan Aqilla yang masih anteng menyibukkan diri dengan menghitung struk es buah yang berhasil ia capai dengan segala bentuk pengorbanan.

10 buah struk kini terpampang nyata di hadapannya.

WOW! SUDAH SEPULUH BUAH STRUK DONG!

Butuh empat struk lagi, sampai ia bisa menukarkannya dengan sebuah kupon yang sepertinya telah menantinya untuk suatu kebahagiaan.

"Gak sia-sia bantu Mama setiap sore," gumamnya yang diakhiri dengan senyuman lebar.

Malam ini tampaknya bukan hanya Aqilla yang sedang asik hitung-menghitung. Karena pada realitnya, Fadia juga sedang melakukan hal yang sama di kamarnya. Bedanya, ia menghitung uang, bukan struk hasil belanjaan.

Uang senilai tiga ratus dua puluh dua ribu, kini berada di genggaman tangannya.

"Gak nyesel capek-capek bikin kolak." Kedua bola mata Fadia berbinar.

"Untung, apa rugi?" Tanya Alder seraya duduk di tepi kasur.

"Untung dong," jawab Fadia. "Lumayan buat nambah-nambah biaya sekolah anak-anak."

Nyatanya Alder tersenyum simpul mendengarnya, meski tak lagi bisa dipungkiri, hatinya tercubit. Ia menghela napas pelan, seharusnya istrinya ini tidak perlu repot-repot.

"Eh, Mas, inget gak sih? Kita kan masih punya uang simpanan, buat kuliahnya Ceuceu. Di mana ya, Mas?"

Alder mengernyit. Ia baru ngeh. "Oh iya, ya. Kamu simpan di mana?"

"Eh, di mana, ya? Duh, aku lupa lagi. Astaghfirullah."

Buru-buru Fadia membuka laci, mencarinya di sana. Begitu pun dengan Alder yang kini sibuk mencari di dalam lemari pakaian. Tapi nihil. Uang itu tidak ada di mana pun.

"Mas, tolong lihatin di bawah ranjang. Aku cari di tempat sampah."

Manusia bukannya makhluk yang paling peka sama uang, ya? Perasaan, gak ada sejarahnya orang kobam sampai buang uang ke tempat sampah. Apalagi uang yg mereka cari ini ialah segelimpangan uang berwarna merah. Siapa pun tidak akan seceroboh itu.

"Nggak ada," ucap Alder seraya menegakkan kembali tubuhnya. "Coba ingat-ingat lagi, Di."

"Aku lupa, Mas. Dan uangnya tetep gak ketemu," lirih Fadia dengan bahu yang merosot. Ia kembali duduk di tepi kasur dengan hati yang seperti disentil.

"Nadia pengen banget jadi psikolog. Mas juga tahu itu, kan? Tapi, gara-gara aku uangnya hilang entah ke mana. Itu bukan uang sedikit, Mas."

Fadia membawa kedua telapak tangannya untuk hinggap menutupi seluruh permukaan wajahnya. Sayup-sayup, isakan tangis pun terdengar.

Alder lagi-lagi menghela napasnya. Ia menghampiri Fadia, lalu menjatuhkan bokong di sisinya.

"Tidak apa-apa. Besok kita cari lagi, ya? Jangan menyalahkan diri sendiri. Kamu harus yakin kalau uang itu bakal balik lagi. Lagi pula, Mas yakin anak-anak kita ini punya takdir yang bagus-bagus. Jangan khawatir berlebihan, istriku," kata Alder seraya mengelus kepala Fadia. Ia tidak bisa main menyalahkan istrinya saja. Fadia pasti lelah setelah seharian membuat kolak pisang.

Lagi pula, jika itu memang rezekinya Nadia, pasti bakal balik lagi. Bener, gak?

GEDEBRUK!

Suara gedebruk yang keras ini seperti menjadi jawaban atas pertanyaan retoris yang sebelumnya terlempar.

Alder maupun Fadia sama-sama tersentak. Mereka saling lirik sejenak sebelum akhirnya segera bangkit untuk memeriksa apa yang telah terjadi.

Nadia, Adibran, Puspa, dan Aqilla telah berada di ruang tamu terlebih dahulu. Oh! Jangan lupakan Ocha yang juga berdiri paling pojok. Tatapan ketujuh manusia itu terarah pada langit-langit paling sudut yang kini jebol.

Kucing yang melipir ke sudut ruangan menjadi objek mereka selanjutnya. Tidak jauh dari situ, kotoran dari atap yang bolong berserakan di mana-mana.

"Astaghfirullah!" Pekik Puspa.

Bukan hanya atap saja yang jebol, melainkan air hujan yang mulai merembes di dinding rumah dengan beberapa titik atap yang bocor membuat mereka panik.

"Ember! Cepat ambil ember!" Perintah Alder.

Aqilla merapat kepada kedua orang tuanya dengan Puhi di gendongannya. Masih ingat, kan? Puhi si boneka panda berwarna hitam-putih.

Malam itu, semuanya bekerja sama. Menyapukan kotoran yang dibawa kucing, mengusir kucing, membawa ember, menaruh ember, dan mengelap lantai yang basah. Sampai pukul setengah dua belas, mereka sama-sama ketiduran dengan posisi yang sedemikian rupa.

Di antara semuanya, Aqilla lah yang terlihat paling nyaman dan normal. Ia tertidur di atas sofa dengan tetap memeluk si Puhi.

Namun, ada yang lebih parah tentunya. Ialah Adibran yang tertidur dengan posisi jongkok. Kedua tangannya memegangi ujung baskom besar yang digunakan sebagai tempat menampung air-air hujan yang nekat masuk ke rumah mereka. Tidurnya tak terganggu walaupun tak jarang pula tetesan air itu menyiprati wajahnya.

Ada juga Nadia yang tertidur di bahu kursi sembari memegang sapu ijuk. Juga Puspa yang menempelkan pipinya di meja dengan tangan yang memegangi kain lap.

Dari semuanya yang kini asik menyelami mimpi masing-masing, ada satu manusia yang masih membuka matanya lebar-lebar. Dia, Ocha Odelia. Berdiri sembari menyandari dinding. Matanya menatap sekitar. Sebelah alisnya lalu terangkat tinggi-tinggi. Setelah itu, entah untuk apa ia mengedikkan bahu. Siapa pula yang mau ikut-ikutan susah seperti itu? Toh, ini rumah mereka, bukan rumah dia. Tamu mana boleh repot-repot.

Mengeluarkan seringai andalannya, Ocha lantas berlalu saja dari tempat sebelumnya ia berdiri. Melangkah dengan mengendap-endap, ia lantas memasuki sebuah kamar.

🍨🍧

Ngapain coba itu manusiaaa, beti teros.

Jangan lupa vote, plus komen, dan plus share!

Selamat berbuka,

- Kay


Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang