•Usulan•

60 7 2
                                    

Awas typo! Happy reading!
_____

"Mam! Mam! Dibran punya ide cemerlang buat usaha kita bersama!" Seru Adibran dengan berlari-lari kecil sejak kakinya menapak di langkah pertamanya memasuki rumah. Tas yang masih tersampir di sebelah bahu tidak menyurutkan langkahnya untuk sekedar mampir ke kamar, lalu menyimpannya dan berganti baju terlebih dahulu.

"Masuk itu biasain ngucap salam," cibir Fadia yang tengah mengupas bawang di dapur.

"Assalamualaikum," ucap Adibran seraya tersenyum.

"Waalaikumussalam. Tumben jam segini udah pulang."

"Ah, Mama mah gak asik. Pulang telat diomelin, pulang lebih awal malah dicurigain." Adibran mendengus keras-keras. "Emang sulit ya kalo jadi anak tersayang tuh."

Lebay ah Dibran.

Fadia ikut-ikutan mendengus. Ngidam apa dulu sampai bisa melahirkan anak modelan begini? Fadia dan Alder biasa saja. Tapi kok salah satu hasil cetakannya malah gini, ya?

"Ada apa sih, Bang? Kamu ini bikin recok aja," cetus Fadia seraya mendelik ketika Adibran masih berdiri di sisinya.

"Adibran lagi dapet inspirasi, Mam. Tadi, Dibran lihat ojol." Cerita Adibran ini sontak saja membuat Fadia mengangkat sebelah alisnya.

"Terus apa? Kamu ini ngomong kok gak jelas. Jangan curhat dulu ah. Ganti baju sana."

"Ih, Mam. Jadi gini, Dibran terinspirasi dari ojol yang kebanjiran orderan sana-sini. Nah, gimana kalau Mama pamer-pamerin itu kolak di sosmed. Nanti kalau ada yang pesan, sekalian Dibran antar," usulnya.

Fadia menghela napas. "Ngaco kamu. Kamu nganterin pake apa? Cap kaki?"

"Ini namanya lucky, Mam!" Seru Adibran berapi-api. "Dibran dapet kabar, kalo Pak Gimin lagi sakit. Motor yang biasa dipake ngojek juga nganggur. Kasihan mereka gak ada pemasukan sama sekali."

Seakan mengerti dengan maksud anaknya, Fadia lalu bertanya, "Kita sewa, begitu? Kamu yakin bakal laku?"

"Kok Mama jadi pesimis, sih? Tenang aja Mams. Mama punya anak-anak yang berelasi luas sama orang di luar sana," jawab Adibran dengan tatapan menerawang. Ia lalu terkekeh sendiri akibat ucapannya.

"Hmm, ada aja celah buat membanggakan diri. Narsis banget nih, Abang," cibir Fadia.

"Kalo di luar, abang ini kalem kok, Mam," ucap Adibran dengan sebelah matanya yang ia kedipkan. Berniat menggoda sang mama. "kolak Mama ini mantap pol! Gak bakal bikin nyesel, ok. Rasanya bener-bener nyambar, ugh!"

Senyum Fadia mengembang. Adibran ini bisa saja membangkitkan kepercayaan diri orang lain dengan caranya sendiri. Gak copy paste. Dasar pelawak acara sunatan.

Tapi, ada satu hal yang mengganggu pikiran Fadia. Dari mana ia mendapatkan modalnya?

Dan, oh yang benar saja! Bau apa ini!? Hidung Fadia mengendus, ia lantas berdecak.

"Abang, ih! Mandi sana."

*****

Selepas pulang sekolah, Aqilla segera berlari menghampiri Pudu di depan gang.

"Wuaah! Sepeda baru nih ceritanya," pekik Aqilla ketika ia melihat benda beroda dua dengan pedalnya yang kinclong sampai ke jari-jari roda.

"Iya dong! Ini hadiah Papi karena sampai sekarang puasaku belum batal," serunya lantang, hingga terdengar sedikit pongah.

"Minjem dong! Boleh, ya." Aqilla memelas dengan tatapan maut yang imut.

"Boleh. Mana ada sejarahnya aku sombong." Pudu dengan tubuh gempalnya itu menyengir dengan lebar.

Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang