Setelah pulang dari kediaman Stela, Aqilla jelas buru-buru pulang ke rumahnya. Hal pertama yang menyambut kedatangan Aqilla di rumah ialah Ocha yang sedang rebahan pewe di sofa ruang tamu sembari memainkan ponselnya yang keluaran baru.
"Assalamualaikum. Qilla pulang."
"Waalaikumussalam. Kok baru pulang jam segini?" Tanya Ocha yang meliriknya dari ekor mata. Humm, tidak biasanya dia banyak bertanya seperti ini.
"Habis dari rumah teman, Kak." Aqilla melepas sepatunya.
Ocha bangkit dari kenyamanannya. Ia membiarkan kedua kakinya selonjoran di atas sofa, matanya menatap Aqilla, menilik sebentar. "Lo kelas berapa sih?"
"Kelas tiga, Kak. Mau naik kelas empat."
Ocha yang cenderung bar-bar dan don't care sama circle nya mengingatkan Aqilla tentang Stela.
Ah ya, setelah bertemu dengan abi nya Stela yang bernama Sultan, Aqilla jadi tahu kalau Stela ini sulit banget diajak benar. Aqilla tidak tahu apa-apa saat Stela entah membisikkan hal apa di telinga Sultan sampai ia mengernyitkan keningnya. Setelah itu, mata Sultan seperti alat scanner yang meninjau Aqilla dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Kemudian, mereka duduk di ruang tamu yang masih terlihat sisi tradisionalnya. Walaupun begitu, tidak ada kesan ketinggalan zaman sama sekali di sana. Penataan yang oke, seperti penempatan barang-barang antik yang ciamik banget di atas lemari-lemari kecil, atau pun piala-piala dan beberapa hiasan dari kayu yang eksis dari dalam sebuah lemari kaca di pojok kiri. Setelah pertemuan dengan abi-nya Stela, Aqilla jadi tahu kalau Stela termasuk kelompok anak yang ngeyelnya minta ampun. Dibilang harus pakai pakaian yang sopan dan beradab, dia malah keukeuh menggulung lengan seragamnya plus memakai tindik di hidungnya secara diam-diam. Dan Aqilla bisa lihat jelas raut kaget di wajah Stela. Mungkin di pikirannya terlintas pertanyaan, dari mana abi-nya itu tahu?
Ocha mendengus, yang mana berhasil mengembalikan kesadaran Aqilla kembali. "Adik gue juga masih sekecil lo," katanya.
"Kak Ocha punya adik!?" Pekik Aqilla kegirangan. Dia ini suka banget bersosialisasi dan memperbanyak relasi sama orang-orang. Jadi, pasti dia antusias kalau sudah bisa meraba posisi calon target perkenalannya lagi.
"Ya. Dia itu istimewa." Ocha membenarkan duduknya dengan menurunkan kedua kakinya. "Tapi dia sama kayak lo, pun gue. Dia punya kelebihan yang mungkin hanya dimiliki minoritas dari penduduk bumi. Dan dia punya kekurangan yang juga demikian."
"Sekarang dia di mana?" Tanya Aqilla.
Ocha beranjak, ia hanya tersenyum simpul seraya pergi dari hadapan Aqilla. Sepertinya, ia tidak mau banyak membahas tentang adiknya ini dengan Aqilla. Mungkin bukan hanya Aqilla, melainkan dengan siapa pun.
"Ditinggal lagi," gumam Aqilla jengkel.
*****
"Ceuceu kuliah yang deket aja, ya," ucap Fadia seraya tersenyum.
"Lho? Mama kan tahu sendiri kalau Nadia pengen jadi psikolog. Mama juga tahu betul aku mau kuliah di mana."
Alder yang berada di ruangan itu pun menarik napas dalam-dalam. "Sayang, kamu tahu sendiri kan keadaan keluarga kita sekarang?"
Nadia berdecak, lalu berkata, "Untuk apa Mama sama Papa ngasih aku harapan, dan ngasih aku kesempatan untuk bermimpi, jika akhirnya kalian yang ngatur mimpi aku? Bisakah kalian ngertiin Nadia?"
"Ini bukan keinginan Mama dan Papa," kata Fadia. "Kami gak ada niatan untuk mengatur mimpi kamu." Hatinya seperti diremas hingga meninggalkan bekas.
"Coba kasih aku alasan yang sesungguhnya. Kenapa kalian tega sekali sama aku?"
"Ceu, Mama..gak mau kamu kuliah jauh-jauh. Mama khawatir," kata Fadia dengan suara yang terdengar parau.
"Ma, aku pengen Mama jujur. Nadia pengen denger langsung," lirih Nadia.
Kalian pernah gak sih, kayak punya mimpi besar dan punya beberapa aspek yang ngedukung kalian buat ngeraih mimpi itu, terus banyak alasan kenapa kalian begitu keukeuh? Sampai akhirnya peluang kalian wujudin mimpi itu cuma 0,9% yang gak ada artinya. Rasanya itu, nyes-nyes sekali. Itulah yang dirasakan Nadia. Kecewa.
Fadia menarik napas, bagaimana pun putrinya ini harus tahu dengan jelas alasannya. "Alasannya biaya. Keadaan finansial kita lagi jatuh. Mama tahu betul cita-cita kamu itu. Mama juga--" Dan Fadia kehilangan kata-katanya.
Sebagai ibu, tentu Fadia inginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Juga, masalah finansial ini bukan sebagian dari rencananya untuk membahagiakan para buah hatinya. Jelas bukan skenarionya.
Nadia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Mengapa ia harus berada dalam posisi demikian?
Telapak tangan Alder mampir di bahu Nadia, mengusapnya pelan. "Kita serahin semuanya sama Allah. Bagaimana pun, semoga saja Allah tetap memberikan yang terbaik buat kamu dan kita semua. Papa juga akan berusaha keras."
"Pokoknya, Nadia cuma mau jadi psikolog. Kalau pun gak bisa masuk semester ini, Nadia gak akan nyerah."
Gadis itu segera melenggang pergi dari kamar kedua orang tuanya. Pantas saja firasatnya sudah tak tentu ketika Fadia memanggilnya tadi.
"Kenapa gue ditempatin di posisi yang gak pernah gue inginkan sih?" Gumamnya seraya terus berjalan menuju kamarnya.
Nadia meraih ponselnya di atas kasur. Membuka kolom chat nya dengan salah satu teman, lalu mengetikkan beberapa kata.
HowApps
Nadiamarr
Cafe ortu lo msh buka lowongn kerja?🍨🍧
Gimana part ini? Hwhw
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]
Teen Fiction"Pokoknya nih Ma, Pak, Bang, Ceu, Teh, Qilla mau beli Es Buah setiap hari selama bulan Ramadhan. Pliisss, ini udah gak kuat." Ini bukan sekedar es buah kaleng-kaleng yang gak punya keistimewaan! Bisa bikin manusia bisa terbang? Bisa bikin manusia pu...