•Sendok•

41 7 0
                                    

Hanya ada suara gaduh yang timbul akibat tubrukan antara sendok dan piring di atas meja makan. Tidak seperti biasanya yang selalu berisik, kali ini mereka berbuka diiringi keheningan.

"Besok besok, kita bikin es buah sendiri aja, dari pada harus beli terus," usul Fadia. Memecah keheningan yang sejak tadi membeku.

Aqilla mendongakkan kepala, ia menggeleng cepat seraya berseru, "Nggak, Ma. Aku gak mau! Qilla maunya beli aja di kedai penuh berkah."

"Mahal, Qil. Mau sampai kapan beli terus di sana? Kamu mau gak makan demi beli es buah setiap hari?" Tanya Fadia lagi. Kini nada suaranya terdengar sedikit frustasi.

Fadia ini masih pusing akan perbincangannya dengan si sulung siang tadi, belum lagi dirinya letih karena pesanan kolak yang membeludak. Cukup. Jangan lagi Aqilla tambahkan dengan meminta uang demi membeli es buah setiap hari.

Aqilla menundukkan kepalanya. Ia bingung harus apa. Dia kan berniat baik. Tetapi, kalau ujungnya bikin Fadia kelimpungan begini, apa niatnya ini masih bisa dibilang niat baik?

"Apa bedanya sih sama bikinan Mama? Lebih banyak, iya," ucap Puspa ikut nimbrung.

"Iya. Kenapa sih, Dek?" Tanya Alder yang sepertinya ingin ikut campur juga.

1 : 3 wehh!

Aqilla tentu merasa tersudutkan. Mereka kan tidak mungkin mengerti, dan Aqilla tidak berniat sama sekali untuk menjelaskan.

"Terserah. Qilla akan tetap beli di sana."

"Rasanya memang enak sih," celoteh Adibran. Mendengarnya, Aqilla spontan mengangkat kepalanya, menatap Adibran dengan terharu. Abangnya ini memang the best!

"Tapi buatan Mama juga gak kalah enak kok. Udahlah, Dek. Stop beli, sayangi uangnya."

Ctak!

Ternyata sama saja. Baru banget dipuji, eh langsung ngegubrag nih ekspektasinya Aqilla.

Balikin respect-ku!

"Uang kan memang buat dibelikan sesuatu. Sayang kalau cuma disimpan di dalam dompet. Kalau begitu, kenapa gak sekalian di laminating terus dipakein pigura, Bang?"

"Apa susahnya sih buat ngirit? Masih ada hal-hal yang lebih penting," kata Nadia, sedikit sewot. Sedikit. Mungkin, dia gedeg. Dia kan harus menjeda keinginannya untuk menjadi psikolog, terus mengapa Aqilla begitu sulit untuk menjeda keinginannya beli es buah setiap hari? Itu lebih mudah menurut Nadia.

Aqilla menatap piringnya lamat-lamat. Cuma piring itu yang tidak protes, juga tidak menyudutkannya.

Love 4.450, piring!

"Kenapa sih gak ada yang ngertiin aku?" Bisik Aqilla lebih pelan. Sangat pelan, hingga nyaris tak ada yang bisa mendengar.

Namun, suara dari seseorang yang menempati kursi di sampingnya ini sontak membuat Aqilla menolehkan kepala.

"Gue ngertiin lo dan ada di pihak lo, kok, Adik kecil." Ocha menyeringai, setelahnya ia mengedipkan sebelah matanya ketika Aqilla menatapnya tanpa kedip.

Ini orang telinganya runcing banget sih.

*****

Aqilla menunduk, tangannya mencoba meraih sendok yang baru saja lepas dari genggamannya. Seperti biasa, Aqilla paling telat dalam segala hal. Seperti, paling telat sahur dan paling telat menghabiskan makanan buka puasanya.

Aqilla melengoskan kepalanya ke bawah meja. Ia merangkak, memasukkan separuh tubuhnya demi meraih sendok aluminium yang kini tak berdaya di bawah meja.

"Kamu tuh nakal ya, pake loncat-loncat segala lagi," gumam Aqilla seraya memandang sendok yang kini ada di genggamannya dengan geram.

"AW!" Pekik Aqilla ketika kakinya terinjak entah oleh siapa.

Duk!

Kepalanya yang terangkat karena kaget membentur langit-langit meja.

"Sshh." Aqilla meringis. Dengan sebelah tangan yang mengusap-usap kepalanya, Aqilla mendongak ke atas. Menatap langit-langit meja yang tadi berbenturan dengan kepalanya.

"Eh? Apa ini?" Aqilla spontan mengernyit. Di atas sana ada sepotong kertas yang diselotip rapat. Untung selotip nya bening, jadi Aqilla bisa membaca tulisan di kertas itu.

Aqilla bersyukur, selotip itu tidak menjadi penghalang. Harusnya memang begitu ya tugas selotip. Menerawangkan, agar memudahkan. Bukan menghalangi penglihatan.

Love 202, selotip!

"Ngapain Qill? Nemu emas, ya?" Itu suara Adibran yang kini tengah tertawa. Menertawai Aqilla tentunya.

"Ini Bang--"

Duk!

"ADUUH!"

Huftt, kepalanya terbentur lagi.

"HAHAHAHA!"

Dan sialnya, Adibran menertawakannya lagi.

                                 🍨🍧

Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang