•Cerita Masa lalu•

44 8 6
                                    

Sudah tengah malam ketika pintu kamar Nadia diketuk dari luar. Nadia menolehkan kepalanya menuju pintu, ia baru saja hendak memejamkan matanya, tapi urung karena ketukan yang terdengar semakin kencang.

Dengan malas, Nadia beranjak dari kasur, lalu membukakan pintu.

Di depannya kini, berdiri seorang gadis kecil yang memeluk boneka panda besar. Aqilla, dia Aqilla.

"Qilla boleh ya, tidur sama Ceuceu?"

Yang Nadia lakukan setelahnya ialah membukakan pintu kamar lebar-lebar, sebagai isyarat supaya anak kecil ini bisa segera masuk ke dalam sebelum ia berubah pikiran.

Nadia lantas berjalan menuju tempat tidur tanpa kata, ia biarkan Aqilla yang menutup pintu kamar sendiri.

"Sabar aja, Mama nggak pernah berubah," ucap Nadia tiba-tiba. "dulu, dia lebih parah."

Bukannya cenayang, hanya saja Nadia sudah hapal tingkah Aqilla yang akan menghampirinya ketika dirinya resah. Dan kejadian di meja makan malam ini membuatnya dapat membaca situasi, plus menjadi lebih peka.

"Tapi Aqilla sedih, Mama gak pernah begitu sebelumnya," balas Aqilla seraya ia menjatuhkan bokongnya di atas tempat tidur dan memangku si puhi.

Nadia menghela napas. "Dia hanya kembali seperti dulu, tidak berubah."

Flashback on

Malam itu pukul sepuluh kurang lima menit, ketika Fadia tengah menatap air kolam renang dengan begitu berbinar. Dia pergi ke sana diam-diam setelah Alder tertidur nyenyak di dalam kamar.

"Berenang malam-malam enak kali, ya," gumam Fadia bermonolog. Ia membiarkan kedua kakinya mencicipi dinginnya air malam.

Kalau Alder tahu, pasti dia kena marah. Tapi mungkin, karena jenuh sebab tidak ke mana-mana selama sepekan inilah yang menjadikan ia sebegini nekatnya melanggar aturan sang suami. Ditambah lagi keposesifan Alder yang membuat kepalanya lebih puyeng.

Usia kehamilan yang mulai menginjak enam bulan, seharusnya tidak aneh kan kalau seorang suami semakin protektif pada istrinya? Apalagi ini kehamilan kedua Fadia setelah kelahiran Nadia kecil.

"Ada kunang-kunang!" Pekik Fadia ketika matanya menangkap kerumunan makhluk kecil yang bercahaya kini bergerak-gerak di ujung kolam.

Dengan girang, Fadia menarik kedua kakinya keluar dari air, lalu dengan sedikit berlari ia menyusuri pinggiran kolam.

Fadia tidak peduli kakinya yang basah, atau lantai yang sedikit licin, ia tetap tidak mengurangi frekuensi berlarinya. Hingga, kakinya menginjak lantai licin dan nasi kini menjadi bubur.

"EH! EH!"

BYAR!

Fadia tercebur ke dalam kolam. Ia terpeleset dan kini mati-matian untuk mengingsrutkan tubuhnya ke tepi kolam. Sayangnya, perutnya yang buncit malah menyusahkannya dan kini terasa seperti kram.

"MAS! M-MAS AL-DER!"

Malam itu juga, Fadia segera dilarikan ke rumah sakit. Dan kenyataan buruk menimpa mereka, air ketuban telah pecah dan keadaannya sangat kritis. Mau tidak mau, anak yang ada dalam kandungan Fadia harus segera dikeluarkan.

Flashback off

"Hah?" Aqilla menganga lebar, sungguh speechless mengetahui kenyataan tersebut. Jadi, mamanya itu pernah nyaris keguguran?

"Anak yang lahir hari itu, Abang, dia selamat. Sedangkan kembarannya, dia hanya sanggup hidup beberapa detik," jelas Nadia.

"Abang ... punya kembaran?" Suara Aqilla tercekat di tenggorokan. Mengapa ia baru tahu sekarang sih!? Batinnya memekik.

Nadia mengangguk. "Kenapa Papa atau Mama gak pernah cerita?" tanya Aqilla.

"Itu luka lama, buat apa diusik kembali?"

"Mama waktu itu syok banget. Batinnya keguncang. Dan ceuceu jadi salah satu pelampiasannya," ucap Nadia lagi.

"Maksudnya?"

"Mama cuma fokus sama Abang. Ceuceu yang usianya baru sekitar empat tahunan lebih gak dipeduliin. Ceuceu waktu itu memang masih kecil, tapi ceuceu masih ingat, selama Papa ada proyek di luar kota, maka selama itu juga Mama gak pernah ngasih ceuceu makan. Makanan ceuceu waktu itu hanya sekadar makanan jadi yang ada di kulkas. Bahkan ceuceu gak mandi selama Papa belum pulang," papar Nadia, di akhir kalimatnya ia terkekeh pelan.

Aqilla yang mendengarnya seakan lupa cara bernapas. Ia menahan napas seraya membelalakkan mata.

"Ceuceu nangis, Mama gak peduli. Mama hanya peduli Adibran kecil," lanjutnya. "gara-gara nangis seharian karena gak dikasih makan dan bikin Adibran kecil jadi ikutan rewel, Mama pernah gusur sambil jewer telinga ceuceu ke kamar mandi hanya untuk memandikan ceuceu."

"Ceuceu akhirnya dimandiin?"

"Heem. Tapi mandinya tanpa lepas baju."

"Terus gimana dong? Bajunya basah?" Dan Nadia menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

"Waktu itu, Nenek berkunjung dan mergokin ceuceu yang semakin kurus. Dia itu ibunya Papa, yang syukurnya sayang banget sama ceuceu. Semenjak itulah ceuceu dibawa ke rumahnya. Tinggal di sana sampai usia hampir sepuluh tahun. Lalu, balik ke Mama-Papa saat Nenek udah meninggal." Ada gurat sendu di wajahnya dalam pelukan malam ketika menyebutkan bahwa Nenek yang mengurusnya sudah tiada. Kalau gitu, Neneknya Nadia itu Neneknya Aqilla juga, 'kan, ya?

"Namun, sepertinya selama ceuceu gak ada, Mama juga sering ikut terapi. Makanya pas balik itu, Mama kondisinya sudah membaik. Bahkan, Teteh udah lahir."

Aqilla mengeratkan dekapannya pada puhi si boneka panda. Ia lagi-lagi menyimak kala Nadia kembali bercerita dengan tatapan matanya yang menerawang.

"Perubahan Mama cukup signifikan, hanya saja masih menyebalkan seperti yang dia lakukan pada Qilla seperti di meja makan tadi," ucap Nadia lagi. "dan dia benar-benar hijrah ketika kamu hadir di dalam keluarga ini."

Tatapan Nadia beralih pada Aqilla yang juga tengah menatapnya. "Aqilla itu seperti bulan di tengah malam buat Mama. Kamu itu pelengkapnya, Dek. Mama mungkin lagi lelah banget setelah hampir seharian bikinin pesanan. Mama sangat sayang sama kamu."

"Benarkah?" tanya Aqilla pelan.

"Iya." jawab Nadia.

"Ceuceu, telat masuk sekolah?"

"Heem. Ceuceu sempat masuk taman kanak-kanak. Tapi gak bertahan lama, karena ceuceu galak banget. Gak ada yang mau berteman sama ceuceu," jelas Nadia. "di semester selanjutnya, ceuceu malah gak bisa berinteraksi dengan baik. Gak pernah senyum atau tertawa, sampai temen-temen pada takut. Hahaha.

Tapi, karena ceuceu udah telat, Nenek terpaksa gak bisa nunda-nunda lagi." Ada senyum yang terulas di bibirnya.

Nadia menoleh menatap Aqilla yang matanya terpejam. Dagunya Aqilla tumpukkan pada boneka besar yang berada di pangkuannya.

"Qill?" Panggil Nadia, tapi tidak ada jawaban. Hanya dengkuran halus pun teratur yang keluar dari celah bibirnya yang sedikit terbuka.

Nadia lagi-lagi mengulas senyum tipis di bibirnya. Ia mengusap sayang kepala Aqilla. "Kamu memang istimewa."

Kemudian, Nadia menidurkan Aqilla di kasur dengan benar. Puhi di simpan di samping Aqilla, sebagai guling.

"Maafin Qilla, Ceu. Dan ... makasih," gumam Aqilla di sela-sela tidurnya. "makasih, Ceu."

Nadia tersenyum. Dua kata terimakasih dan satu kata permintaan maaf itu sudah cukup bagi Nadia. Dan kini, Aqilla kembali diterima dengan senang hati oleh dirinya.

                                    🍨🍧

Gimana, gimana?

Jangan jadi siders dong yaa:)

-Kay

Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang