•Mama berkata•

67 14 12
                                    

Happy reading!

(>○>)

"Alhamdulillah. Selesai juga," ucap Aqilla seraya mendorong piringnya menjauh.

"Nah, gitu dong! Masakan mama jadi habis nih," seru Fadia. Tangannya dengan lincah memindahkan piring-piring kotor yang masih ada di meja ke wastafel.

Masih pukul 03.55, masih ada sekitar setengah jam sebelum adzan subuh.

"Huaah!" Aqilla menguap. Sangat Me-ngan-tuk! Ia yang paling telat sahur. Secara, malam tadi Adibran menghasutnya untuk menemaninya begadang nonton film horror.

"Lain kali, jangan begadang lagi. Nanti malah kebiasaan," petuah Nadia.

"Bukan hanya cinta yang datang karena terbiasa. Insomnia juga datang karena terus-terusan begadang. Dan kamu--

Tidak boleh seperti itu. Cukup cinta yang buat manusia pusing. Insomnia jangan," kata Puspa yang menumpukkam kedua lengannya di kepala kursi meja makan.

"Teteh pasti sudah punya pacar!" Seru Aqilla.

"Aduh, anak Mama mainnya udah cinta-cintaan aja," komentar Fadia seraya terkekeh. "Mama cuma titip. Bagaimana pun keadaannya, jangan berlebihan. Dalam hal mencintai, jangan sampai cinta kamu ke lawan jenis lebih tinggi dibandingkan cinta kamu ke Allah Yang Maha Kekal."

Puspa hendak bicara, tapi ia kembali mengatupkan bibirnya cepat. Love education dari Fadia ini pantang dilewati.

"Mama..gak mau kamu tersakiti. Kamu terlalu belia untuk patah hati, dan kamu teramat berharga untuk itu," petuah Fadia lagi dengan tatapan yang berpindah-pindah, dari Puspa ke Aqilla. Fadia menghentikan aktivitasnya memindahkan gelas-gelas itu sesaat.

"Cinta dalam diam itu lebih berharga. Kamu akan selalu bersama kesucian dari rasa itu. Kamu bisa lebih berlama-lama merasakan degupan yang bertalu-talu di dalam dada, tanpa harus khawatir jika orang lain akan meremehkanmu," tutur Fadia halus. "Cukup jaga perasaan kamu, ya. Simpan baik-baik. Sibuki saja diri dengan memperbaiki diri. Pasangan yang baik untuk orang yang baik pula."

"Serahkan hatimu kepada Allah. Jatuhkan sejatuh-jatuhnya. Kamu gak bakal menyesal, yaa gak seperti ketika kamu jatuh hati sama manusia. Nanti, biar Allah yang menempatkan hati kamu dengan hati-hati pada hamba-Nya yang tepat." Fadia tersenyum, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.

"Namanya juga jatuh. Pasti sakit, lha," celoteh Puspa.

"Pasti Teteh udah ngerasain jatuh hati makanya bilang begitu, yaa?" Goda Aqilla sembari menaik-turunkan alis tipisnya.

Puspa yang mendengar itu membelalakkan matanya tidak percaya. Kalau begini, yang otaknya sudah terkontaminasi itu dirinya atau Aqilla?

"Ma, ada tetangga di depan," kata Adibran yang tiba-tiba datang.

*****

"Bu Fadia, maaf mengganggu waktunya. Jikalau masih ada, bolehkah saya meminta nasi di rumah Ibu? Suami saya baru saja kena PHK. Pesangonnya belum cair. Di rumah saya gak ada makanan apa pun," ucap  seorang paruh baya dengan suara yang bergetar di depan rumah keluarga Alder. "Saya sama suami masih bisa jika tidak makan sahur. Tapi, saya tidak bisa membiarkan anak-anak saya puasa tanpa sahur. Ditambah mereka harus sekolah."

Fadia menghela napasnya pelan, kemudian ia menjelaskan, "Tapi lauknya sudah habis, Bu. Nasinya juga tinggal sepiring."

Ibu paruh baya yang diketahui bernama Fatma itu mendesah kecewa, kepalanya menunduk. Mungkin, ia sudah benar-benar tidak tahu lagi harus berbuat apa.

"Eh, tapi tunggu sebentar, Bu. Silahkan masuk, Ibu tunggu saya di dalam," imbau Fadia. Setelahnya, ia buru-buru masuk ke kamarnya.

Nadia yang hendak melewati kamar kedua orang tuanya berhenti berjalan tatkala melihat siluet Fadia seperti orang yang tergesa-gesa.

"Ma? Mama kenapa?" Tanyanya.

"Eh? Sayang?" Nadia lalu mengingsrutkan dirinya ke dalam kamar, ia menghampiri Fadia.

"Mama ambil uang buat apa?" Nadia bertanya lagi.

"Ini, itu di depan ada tetangga. Kasian, mau sahur tapi gak ada makanan. Lauk di rumah kan udah habis tadi," jawab Fadia.

"Ma, kan Mama juga bukannya lagi seret?" Tanya Nadia lagi. Ia tidak habis pikir. Bagaimana bisa mamanya ini mendahulukan orang lain ketimbang suami dan anak-anaknya?

"Ceuceu, mereka lebih butuh," kata Fadia lembut. "Kita gak boleh dzalim. Bisa jadi, dari rezeki yang kita punya ini ada sebagian milik mereka. Sedekah gak akan pernah mampu membuat kita jatuh miskin. Dan, Allah mencintai hamba-Nya yang suka menolong sesama, juga bersedekah. Kamu gak perlu khawatir."

"Tapi, Ma, gimana kalau besok kita gak bisa makan?"

"Rezeki dari Allah akan terus mengalir selama manusia tersebut hidup. Don't worry."

"Kamu percaya sama takdir Allah, kan?" Tanya Fadia. "Pasti ada saja jalannya, kalau Allah sudah menghendaki."

Fadia tersenyum menenangkan. Sedangkan Nadia, ia hanya bisa mendengus. Kalau sudah begini, dirinya bisa apa?

Lagipula, sepertinya penjelasan mamanya itu ada benarnya juga.

Fyuh.

"Yaudah, Mama ke depan dulu, ya?" Nadia mengangguk, ia membiarkan Fadia menuju ke dapur untuk mengambil nasi, dan kembali menghadap Fatma yang tengah menunggunya di ruang tamu sedari tadi.

"Semoga aja kedermawanan Mama nurun ke gue," bisik Nadia. Lantas, ia segera pergi dari ruangan itu.

Dipikir-pikir, ia kan sudah kelas dua belas. Bahkan, ini adalah semester terakhirnya menjejakkan kaki di tanah SMA. Akan tetapi, ia masih belum bisa memberikan timbal balik untuk kedua orang tuanya yang telah merawatnya dengan sangat baik. Di saat-saat seperti kondisi keluarganya sekarang ini, seharusnya ia bisa sedikit meringankan beban mereka.

Yaa, tapi semuanya tetap butuh proses juga. Gak bisa instan.

Beberapa saat kemudian, di kamar Alder dan Fadia, seseorang terlihat tengah berusaha membuka pintu kamar itu tanpa menimbulkan suara. Perlahan, tubuhnya meringsek masuk. Lampu kamar itu menyala, memudahkannya untuk mencari di mana tempat Fadia menyimpan dompetnya.

"Ah, itu dia," gumamnya ketika pandangannya menangkap sebuah dompet hijau tosca teronggok di atas kasur, di samping bantal.

Ia meraih dompet itu. Membukanya, lalu mengecek ada berapa sisa uang di sana. Orang itu lantas buru-buru mengambil uang yang ada di dalamnya.

"Hanya lima belas ribu? Eh? Apa ini?" Ia mengambil lagi sesuatu berbentuk lingkaran seperti logam dari sana.

Paling gopek, begitu pikirnya. Eh, tapi, apa-apaan ini? Ia kira hanya lima ratus perak. Padahal, nilainya lebih kecil lagi.

200 perak.

Beli permen aja udah gak bisa sama uang 200 perak mah.

Ia mendengus. Et, apakah ia akan mencuri? Jelas tidak! Mana tega ia mengambil sisa uang yang bahkan ia ragu apakah itu cukup untuk berbuka puasa nanti atau tidak.

Ah ya, dia memasukkan kembali uang lima belas ribu dua ratus itu ke dalam dompet. Merogoh saku celananya, lalu mengeluarkan sesuatu dari sana. Sesaat, orang itu menatap uang berwarna merah yang kini berada di genggamannya. Sampai akhirnya, ia jejalkan juga uang itu ke dalam dompet, guna menemani uang lima belas ribu lima ratus kurang 300 perak di dalam sana.

Beberapa waktu kemudian, ia keluar dari kamar itu dengan hati-hati. Menatap sekelilingnya intens, lalu menghela napas ketika ia merasa dirinya aman. Tidak ada yang memergoki aksinya ini.

"Semoga akan selalu seperti ini, tidak ada yang melihat, dan tidak ada yang tahu."

Setelah menggumamkan kalimat itu, ia segera pergi menjauh dari sana. Bersikap serileks mungkin, dan bersiap untuk sekolah.

                              🍨🍧

Siapa di sanaa?

Part ini kay tulis saat lagi hujan besar. Jadi keinget lagu karya guru kay, yang berjudul "hujan peuting". Sumpah, itu terngiang-ngiang bener. Enak didenger pokoknya.

Nah, udah ya. Kalo suka sama ceritanya, kalian bisa vote. Pencet bintang di pojok kiri situ, sebagi bentuk apresiasi.

Ohohoho!

Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang