•Petunjuk ke 2•

43 5 6
                                    

Setiap keinginan harus diusahakan dengan segenap jiwa-raga supaya bisa lekas digapai. Apalagi jika usahanya bersama-sama, maka semuanya akan terasa jadi lebih mudah.

No! No! No!

Keluarga Alder kini bersama-sama berusaha memecahkan petunjuk yang ada demi mendapatkan petunjuk baru. Bersama-sama, lho. Tapi, sepertinya bukan untung yang didapat, melainkan buntung.

"Weh! Weh! Awas, elah. Abang mau cek nih," kata Adibran heboh. Ia memaksakan diri untuk menggeser Puspa dan Nadia yang sedang mencari di rak berisikan kitab dan sebangsanya.

"Santai elah," desis Nadia dengan sebal.

Tanpa memedulikan Puspa yang tertekan di tengah-tengah mereka, Adibran malah bertanya kepada Ocha yang juga tengah sibuk mencari di rak buku sebelah. "Eh, Och! Ngapain lo nyari di tumpukan buku itu?"

Mendengar panggilan Adibran yang nyeleneh, Ocha menajamkan matanya. "Gue kan udah peringati, ya, kalo lo mau manggil nama orang ya jangan nanggung-nanggung, bege!" Ocha mendelik sewot. Mulutnya komat-kamit merapalkan segala sumpah serapah untuk si 'mobande', modal badan gede, yang ia sematkan untuk panggilan menjijikannya kepada Adibran.

"Mpus, ngapain juga ikut-ikutan di sana sama si Och? Tadi kan kamu ada di antara abang sama Ceuceu." Ocha lagi-lagi mendelik saat Adibran menyebut namanya seperti itu. Puspa ini cepat sekali pindah tempat, jangan-jangan dia punya kekuatan magic!

Tujuan Adibran bertanya kepada si empunya nama tidak digubris sama sekali. "Mpus! Hei, ditanyain malah diem. Somse ya lo."

"Abang, nyebut nama orang itu yang bener! Nama mereka adalah doa. Jangan asal penggal nama dong. Emangnya Abang ridho kalo dipanggil Didi?" Omel Fadia yang juga tengah ikut mencari di rak buku yang satunya lagi.

Adibran bergidik ngeri. Didi? Di sekolahnya ada yang bernama Didi, dia itu kutu buku yang bersembunyi dari khalayak. Sedangkan Adibran, dia kan ganteng dan populer. Jadi Adibran pikir, sangat sangat tidak pantas ia dipanggil Didi. Iew, pede sekali ya lelaki ini.

"Eh, iya, Ma. Maaf, maaf. Abang khilaf."

"Buku sejarah itu berisikan masa lalu, serpihan-serpihan memori beberapa puluh tahun atau beberapa abad lalu. Pengalaman itu kan adalah sehebat-hebatnya guru, jadi masih ada kemungkinan kalau buku sejarah ini keluar sebagai jawabannya," jelas Puspa dengan sedikit ketus.

"Nih ya, Bang. 'Mpus' itu kan identik dengan kucing, masa teteh yang kece torpedo gini lo samain sama kucing sih?"

"Iye, abang minte maap ya, neng."

"Dasar gak serius!"

"Cewek mah gitu, di mana-mana selalu aja minta diseriusin, padahal hobinya ngephpin cowok," gumam Adibran seraya mendelikkan matanya. Capek juga jadi serba salah.

Aqilla menjinjitkan kakinya, tangannya berusaha menggapai-gapai buku yang raknya sedang digeledah oleh Alder dan Fadia.

"Dek, kamu ngapain?" Tanya Alder yang mulai risih karena Aqilla memanfaatkan tubuhnya yang mungil untuk nyelip di antara dirinya dan sang istri.

"Bantuin nyari, Pa," jawab Aqilla.

"Kamu belum sampai, diam saja."

Aqilla mundur pelan-pelan seraya mengerucutkan bibirnya.

"Makanya cepet tinggi dong!" Celetuk Puspa.

"Aku bukan pendek, cuma tinggi yang tertunda!" Aqilla duduk sembari bersidekap. Huh, nasib kurang tinggi. Enak saja bantuannya ditolak.

"Gak ada, Ma," adu Adibran setelah lama mencari dalam diam. Ia mundur dan duduk di samping Aqilla.

"Gambar di antara kisah, itu artinya lo nyari di tiap lembarnya. Gambar yang dimaksud pasti disimpan di antara lembar demi lembar." Ocha berkacak pinggang, lalu berjalan menuju rak berisikan kitab.

Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang