•Gudang•

47 5 0
                                    

"Goyang nasi padang pake sambal randang, kayak orang minang, yang ikut bergoyang," nyanyi Adibran sembari menggerakkan pinggulnya. "Asik, asik! Euy!"

"Sedeng, Bang?" cetus Puspa sewot.

"Teteh bahasanya," tegur Fadia.

Mereka baru selesai berbuka puasa. Perut kenyang, hati pun senang, itu kalimat yang cocok bagi Adibran. Ia tengah sibuk membantu Fadia memindahkan piring-piring kotor ke wastafel sembari bersenandung ria.

"Jadi serius Ocha udah pergi?" tanya Alder memastikan.

"Iya, Pa."

"Kok gak pamit?"

"Itu contoh orang yang gak tahu diri, Pa," celetuk Adibran. Entahlah, ia selalu emosi jika topik yang dibicarakan mulai membahas seorang Ocha Odelia.

"Hush! Ngomongnya. Tolong itu mulut dijaga, ya," omel Fadia dengan mata yang melotot.

"Eh, iya maaf, maaf."

"Lusa menu buka puasanya apa, Ma?" tanya Aqilla.

"Gak kerasa aja udah mau lebaran. Sial. Nyesel aku terlalu leha-leha," ujar Puspa dengan wajah kusut.

"Tetangga katanya ada yang mau ngasih ketupat. Nanti bikin opor aja, ya," kata Fadia menjawab pertanyaan Aqilla tadi.

"Menyesel memang di akhir," komentar Alder.

"Ceuceu diem-diem bae," celetuk Adibran. "ditinggal Akang Anta bikin remuk jantung, ya?"

"Iya nih, Ceuceu jadi kesepian."

"Ceuceu jangan sedih."

"Apa sih!" Nadia mendelik. Mengapa ia jadi tersudutkan begini coba?

"Mau gak Papa jodohin sama dia?"

"PAPA!"

Semuanya tertawa terbahak-bahak, mengabaikan Nadia yang memanyunkan bibirnya disertai wajah yang memerah padam menahan geram.

"Becanda, Ceu."

"Gak tau, ya! Gak usah ngomong sama ceuceu!"

Kan, ngambek, 'kan?

"Pa, Dibran mau tanya, boleh?" tanya Adibran. Ia duduk di kursi meja makan. Pekerjaannya selesai. Kini bagian Puspa dan Nadia yang mencuci piring.

Alder mengangkat sebelah alisnya, dan memiringkan kepalanya.

"Sebenarnya, apa yang menyebabkan perusahaan kita sampai gulung tikar begini?"

Alder yang hendak minum, menyimpan kembali gelasnya. Ia menatap Adibran, lalu menarik napas dalam-dalam.

"Jadi, Pak Adnan yang tugasnya turun ke lapangan, nanemin binih-binihnya sama vitamin buat tumbuhannya itu meninggal setelah dari lokasi," jelas Alder. "dan benihnya gak tumbuh. Setiap dikunjungi, Papa harap ada perkembangan. Ternyata enggak sama sekali."

Alder meneguk minumnya. "Papa minum dulu, haus." Dia menenguk air dari gelasnya lagi.

"Para investor pada tahu kalau proyeknya gak jadi. Padahal itu proyek besar-besaran yang kalau berhasil, benefitnya benar-benar besar. Dan, peluang melahirkan cabang perusahaan baru begitu terbuka lebar."

Trang!

Treng!

Nadia dan Fadia selesai mencuci piring. Suara dentingan piring ketemu piring, atau sendok bertubrukan dengan piring meriuhkan suasana.

"Abangku yang ganteng." Puspa mengelus pipi Adibran.

"Teteh! Gak boleh gubluk," katanya seraya mengusap pipinya yang basah karena Puspa. Sedangkan si pelaku hanya menyengir lebar dengan wajah tanpa dosa.

Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang