Angin bertiup lumayan kencang sore ini. Sepertinya ia mencoba untuk mendorong siswa-siswi supaya segera meninggalkan sekolah. Lagi pula, siapa coba yang mau ngapel lama-lama sama sekolahan? Lebih baik pulang terus rebahan.
"Kamu gak mau bareng aku aja?" Tanya Elena. Ia sudah dua kali mempertanyakan hal itu. Jemputannya sudah sampai, ia ingin cepat sampai rumah, tapi keukeuh tidak mau meninggalkan Aqilla.
"Gapapa, aku naik angkot aja," jawab Aqilla. Ia berusaha membuat Elena percaya dengan berkata, "Aku sudah biasa. Kamu gak perlu khawatir. Udah sana, Pak Jompang udah nungguin."
Aqilla mendorong pelan tubuh Elena sampai Elena terduduk di kursi penumpang. Pak Jompang itu nama supir keluarga Elena. Sejak kelas satu, Aqilla sudah mengenalnya.
"Yaudah. Hati-hati, ya!" Elena melambaikam tangannya dari dalam mobil. Aqilla turut melambaikan tangannya seraya menatap mobil hitam itu yang kini melaju cepat di depan sana.
Ia hendak membalikkan badan tatkala matanya bertemu pandang dengan seorang gadis yang sudah lima hari ini tak lagi bisa ia temui di permukaan bumi sebelah mana pun.
Gadis itu menghampirinya yang masih mematung di tempat. Dirinya tersenyum lebar, tak memedulikan gurat wajah Aqilla yang terlihat linglung. Dengan sumringah, ia melambaikan tangannya ketika telah berada tepat di hadapan Aqilla.
What the-!?
Manusia merek apa yang absen sekolah di pagi hari tapi datang pas sekolah sudah bubar? Woah! Ini dia lagi belajar alpa kali, ya?
"Kamu ke mana aja?" Pertanyaan itulah yang keluar pertama kali dari pita suara Aqilla. Mendengarnya, Issabela langsung sibuk menuliskan beberapa kalimat di atas.
'Aku mencari Kakakku. Dia sedang menginap di rumah teman, tapi aku tidak tahu di mana letak rumahnya. Aku khawatir.'
"Apakah sekarang kalian udah ketemu? Atau kamu udah nyerah nyari dia?"
'Aku telah menemukanmu.'
Aqilla mengernyit. Issabela ini sepertinya kehilangan koneksi, sampai tidak nyambung begini.
"Terus, kamu kenapa waktu itu ninggalin aku di belakang gudang?" Aqilla berkacak pinggang sembari menatapnya angkuh.
'Pak Satya bilang, tembok di belakang gudang itu kokoh dan kuat, tinggi pula. Jadi, gak ada satu siswa pun yang bisa kabur dari sana, jangan harap. Aku cuma ngetes. Melemparkan pena untuk mengetahui seberapa kokoh dinding itu. Alhasil, Pak Satya benar dan penaku terjatuh di sebelah kanan, cukup jauh. Pas balik, kamu sudah hilang.' Issabela mengedikkan bahunya.
"Ish! Aku kira kamu syaiton nirojim." Aqilla mendorong pelan bahu Issabela seraya tergelak. Begitu pun dengan Issabela, ia ikut tertawa, hanya saja tawa yang tanpa suara.
'Aku pergi dulu.'
Aqilla mengernyit, apa banget gitu ya, tiba-tiba main pamit. Ah, Issabela lantas segera melambaikan tangannya dan pergi dari sana. Aqilla masih melongo saat ia ditinggal sendirian. Dia ditinggal lagi.
PLAK!
Aqilla terhenyak. Kaget mbak.
"Stela? Ngapain?" Alisnya bertaut ketika matanya mendapati si tomboy ini sedang menatapnya ngeri.
"Lo..ngomong sama siapa?"
"Tahu Issabela Graciera si juara angkatan? Aku baru berbicara dengan dia," jawab Aqilla lugas. "tapi orangnya udah pergi, jadi aku gak bisa kenalin kalian berdua."
Stela ini hendak tak percaya, tapi ya sudahlah, percaya saja. Apa susahnya? Tapi tetap, matanya memandang Aqilla dengan tatapan yang, entahlah. Tatapan itu sulit dibaca.
"Eh, kamu kok gak satu server sama Friska, dan kawan-kawannya?" Tanya Aqilla ketika mereka telah mulai berjalan beriringan. Pertanyaan ini sih yang sempat buat dia bingung, dan jelas begitu mengusik dirinya.
"Buat apa?" jawab Stela seraya mengedikkan bahu. "Gue merasa...kesinggung."
Aqilla memiringkan kepalanya, apa dia tidak salah dengar?
Stela mendengus kencang. "Gue pernah rasain. Dulu. Waktu Abi belum jadi orang seperti sekarang," papar Stela. Ia seakan tahu maksud dari tatapan yang dilemparkan Aqilla.
Abi?
"Memangnya, Abi kamu bukan orang sejak lahir, ya?
Stela merotasikan kedua bola matanya malas. Barusan itu pertanyaan tak berbobot macam apa?
"Lo ikut gue." Stela berhenti melangkah, lalu kepalanya menoleh kepada Aqilla.
"Ke mana? Mau apa? Buat apa? Aku sibuk. Nanti kalau Mama nyariin gimana?" Tanyanya beruntun dengan dahi yang mengerut.
"Ikut aja elah."
*****
Aqilla sempat memerhatikan Stela yang kini sedang memperbaiki gulungan lengan seragamnya dan melepas tindik di hidungnya. Ia terlihat merapikan seragamnya.
Stela menghela napas, ia menatap Aqilla sekilas. Kemudian tanpa aba-aba, ia kembali melangkah, membawa Aqilla memasuki gerbang besar yang kini menunggu mereka.
Aqilla hanya mengikut saja dalam hening, tak banyak bicara. Sampai akhirnya ia merasa Stela berhenti melangkah, barulah kepalanya mendongak.
Rumah sederhana dengan gaya klasik yang family banget terpampang di depan matanya. Sekejap, Aqilla memandangi sekelilingnya. Banyak rumah-rumah, ada satu masjid berukuran sedang, lapangan, dan suara orang mengaji.
Tak lama, seorang pria paruh baya keluar dari rumah itu. Pakaiannya mencerminkan ketakwaan. Kopiah berwarma hitam, baju koko, dan jangan lupakan sorban yang merangkul kedua bahunya.
"Stela, kamu sudah pulang?" Tanya pria itu seraya tersenyum teduh.
Aqilla terhenyak. Kepalanya pusing nih jadinya. Ia tak salah lagi. Stela membawanya ke sebuah pesantren.
Pesantren. Dan satu kalimat berikutnya yang berselancar dari mulut pria ini membuat Aqilla menahan napas.
"Eh, kamu bawa teman? Abi kira kamu tidak memiliki teman." Pria itu terkekeh tanpa memedulikan bibir Stela yang kini mencebik sebal.
Abi? Ini...abinya?
Jadi, benar ya dugaan Aqilla?
Stela si pentolan 3-A, yang bar-barnya kebangetan ini...anaknya kiyai?
🍨🍧
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]
Teen Fiction"Pokoknya nih Ma, Pak, Bang, Ceu, Teh, Qilla mau beli Es Buah setiap hari selama bulan Ramadhan. Pliisss, ini udah gak kuat." Ini bukan sekedar es buah kaleng-kaleng yang gak punya keistimewaan! Bisa bikin manusia bisa terbang? Bisa bikin manusia pu...