Ocha melangkahkan kakinya dengan lesu ke dalam rumah. Ia habis mencari udara segar, dan aktivitasnya terganggu ketika dering telepon masuk ke ponselnya. Sialnya, nama ibunya malah muncul sebagai penelepon.
Ocha bete! Ia menggusur paksa tubuhnya untuk terus melangkah. Di depan pintu, ia mendapati sepasang sepatu asing. Mungkin ada temannya Nadia atau tamu, begitu pikirnya.
"Assalamualaikum," gumamnya pelan seraya melepaskan sepatu.
Orang yang kini duduk di ruang tamu menoleh kepada Ocha. Masih dengan seragam sekolahnya, orang itu menunggu-nunggu bagian di mana Ocha menegakkan tubuhnya, dan mendongakkan kepala.
Ketika itu terjadi, tubuhnya malah menegang.
"Ocha?" panggilnya dengan suara tercekat.
Ragu-ragu, Ocha menoleh. Ia hapal suara itu, tapi sepertinya tidak mungkin kalau 'dia' ada di sini. Tidak mungkin.
"Jangan dia, jangan dia," gumam Ocha begitu pelan seraya memutar kepalanya ke arah si pemanggil.
"Ocha, ayo balik," ucapnya tiba-tiba seraya berdiri.
Alhasil, Ocha mampu melihat wajahnya, juga tubuhnya yang menjulang. Dia ... orang yang paling dihindarinya.
"A-Anta, lo ke-kenapa ada di s-sini?" tanyanya terbata-bata.
Ada apa dengan hari ini? Mengapa dirinya begitu sial? Orang yang paling ikut campur di dalam hidupnya--Anta, kini ada di hadapannya. Mantan gesrek yang masih saja mengurusi hidup dan juga pribadinya.
"Lo ke mana aja? Gue nyariin lo. Orang tua lo nyariin lo. Lo kenapa gak bisa dihubungi?" tanya Anta beruntun. "sekarang lo ikut sama gue, kita pulang."
Ocha hendak berontak, ketika penggalan kata dari surat yang diberikan Issabela terngiang-ngiang di otaknya.
Pulanglah, dan buat Mami-Papi tersadar bahwa mereka masih memiliki satu putri untuk dijaga.
Ocha terdiam. Ia tidak merusuh seperti biasanya ketika Anta menyentuh lengannya. Matanya berkaca-kaca. Sumpah demi seberapa pun jahilnya si mobande terhadapnya, ia tidak ingin kembali. Ia sudah nyaman di keluarga ini.
"Lo kenapa bisa ada di sini? Jangan-jangan, lo diculik?" Anta menatap tepat di manik Ocha. Kemudian, ia mendekapnya erat.
Hei, mantan! Ini bulan puasa kali, enak saja main peluk-peluk. Mantan pacar ribet nih.
Ingin berteriak, tetapi Ocha tetap diam membisu. Sepertinya, ia masih linglung. Peristiwa-peristiwa yang mengoyak emosinya terjadi begitu beruntun.
"Hayu! Kamu ikut ya beneran."
Itu suara Aqilla dari luar rumah. Dan dua sejoli ini masih berpelukan, oh, bukan berpelukan. Karena itu adalah pelukan sepihak. Ocha tidak membalasnya sama sekali, pikirannya kosong.
"Pud, kamu ikut masuk. Tunggu di ruang tamu aja," Aqilla menjinjing sepatu yang telah dilepasnya seraya melangkah masuk. Kepalanya masih menghadap Pudu, memintanya untuk ikut masuk.
"Yaudah, nanti..."
"ASTAGHFIRULLAH!" pekik Aqilla yang sekaligus memenggal ucapan Pudu.
Prang!!
Anta terhenyak, ia melepaskan pelukannya. Matanya bergulir pada Nadia yang menjatuhkan nampan aluminium. Untung saja gelas di atasnya terbuat dari plastik, sehingga tidak pecah. Walaupun tetap saja airnya yang tumpah membuat kubangan di atas lantai.
Sementara itu, Aqilla dan Pudu masih memakukkan tatapan mereka pada dua sejoli di hadapan mereka ini. Seakan sadar, Ocha segera berjalan mundur.
"Ini gak seperti apa yang ada di pikiran elo." Entah apa motif Anta berucap seperti itu pada Nadia. Yang pasti, Nadia tidak menjawab apa pun, ia masih mematung di tempatnya.
Nadia mengerjab-ngerjabkan matanya. Sebuah seringaian akhirnya terbit di bibirnya. Ia berkata, "Maaf, rumah kami bukan tempat untuk berbuat maksiat."
Anta tertunduk. Entahlah, ia seperti merasa bersalah. Menggenggam pergelangan Ocha, ia berujar, "Makasih buat mentoring yang lo kasih selama ini. Kita ... udahan. Gue gak akan ganggu lo lagi. Ayo, Cha."
Apa? Udahan? Kenapa malah seperti sepasang kekasih yang sedang memutuskan hubungan, ya?
Ocha tetap bungkam ketika Anta menariknya. Ia tidak berontak. Ah, tapi mungkin ini memang pilihan yang terbaik. Atmosfer sudah panas, janganlah ditambah-tambah lagi. Tapi, Aqilla sempat mencuri pandang ke arah Ocha yang kebetulan tengah menatap ke arahnya juga. Mata itu sudah tergenang. Ocha tersenyum samar sebelum Anta benar-benar berhasil membawanya keluar dari kediaman keluarga Alder.
Kini tatapan Aqilla berpindah pada Nadia yang duduk bersimpuh di atas lantai, ia membenarkan letak gelas yang sudah kosong di atas nampan.
Huh, kenapa ini? Mengapa Nadia terlihat seperti patah hati?
Ah, jangan bilang kalau Anta merupakan lelaki pertama yang bisa sedekat ini dengannya. Jika iya, berarti saat ini Nadia sedang potek! Dia patah hati.
*****
Benar kata Issabela. Jika ada hallo, berarti akan ada good bye juga pada akhirnya. Perlahan, orang-orang yang berdatangan kembali pergi.
Issabela, Ocha, dan Anta.
Tapi Aqilla berharap supaya Pudu, temannya ini, tidak akan pergi juga seperti yang lain. Lelaki gembul ini harus tetap menjadi temannya.
"Sampai!" pekik Aqilla ketika dirinya dan Pudu telah tiba di kedai penuh berkah. Jadi ceritanya, Aqilla ingin menukarkan semua struk nya menjadi satu buah kupon.
Uhm, tadinya ia hendak menghibur Nadia yang terlihat murung. Namun, baru dua langkah mendekat, Nadia sudah berkata kalau dia baik-baik saja dengan ketus. Sungguh ada kemungkinan Nadia ini seorang cenayang karena mengetahui niat Aqilla untuk menghiburnya.
"Yaudah ayo," ajak Pudu. Ia setia di samping Aqilla sampai di depan penjual es buah.
"Permisi, Mas. Aqilla mau nukerin struk," ujar Aqilla seraya menyodorkan keempat belas struk yang tak terasa terkumpulnya.
"Oh iya. Tapi, adek harus beli satu es buah lagi. Entar semua struknya masukkin ke mesin sebelah sana, dan kuponnya keluar. At least, kamu isi format yang ada. Datanglah besok untuk mengetahui siapa pemenangnya. Diundi, kok."
Aqilla menoleh kepada Pudu, ia berbisik, "Pudu bawa uang, gak?"
Pudu merogoh saku celananya, dan keluarlah selembar uang dua ribu. Ia merogoh lagi saku bajunya, dan keluarlah uang logam--lima ratus perak, dua buah.
"Aqilla boleh pinjem?" pinta Aqilla.
"Ambil aja," jawab Pudu.
Aqilla mana bawa uang. Ia kan sudah tidak punya lagi. Uangnya habis dipakai ongkos pulang. Kalau sedang haus, Aqilla tidak bisa dipaksa untuk tetap jalan sejauh itu.
"Uhm, Mas, Aqilla cuma punya uang tiga ribu rupiah," ucap Aqilla seraya menunjukkan uang-uang yang diletakkannya di atas telapak tangan.
"Duh, masih kurang, Dek." Penjual es buah itu meringis seraya mengusap-usap lengannya sendiri.
Aqilla mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kedai. Lantas, banyaknya meja yang berantakan membuat lampu di otaknya menyala terang.
"Aqilla bantuin beres-beres, gimana, Mas?"
Dan ternyata, kebetulan sekali pegawainya sedang membagikan takjil di pinggir jalan selain yang lain memilih mudik.
Penjual es buah itu terlihat ragu, sebelum akhirnya ia menganggukkan kepalanya. Merasa adanya penerimaan, senyuman lebar sontak merekah di bibir Aqilla.
"Pudu, tungguin Qilla, ya!" Dan tentunya, Pudu hanya pasrah ketika dimintai seperti itu.
Lagi-lagi, semua butuh pengorbanan. Ibaratkan ingin membeli ice cream, seseorang perlu membayarnya.
🍨🍧
Jeng jeng!
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]
Teen Fiction"Pokoknya nih Ma, Pak, Bang, Ceu, Teh, Qilla mau beli Es Buah setiap hari selama bulan Ramadhan. Pliisss, ini udah gak kuat." Ini bukan sekedar es buah kaleng-kaleng yang gak punya keistimewaan! Bisa bikin manusia bisa terbang? Bisa bikin manusia pu...