Kecerahan dan rasa hangat yang dikirim mentari pagi ini, tidak mampu menggelitik Nadia untuk sekedar tersenyum. Tetap dengan wajah datarnya, ia berjalan keluar dari rumah. Seharusnya ia bisa berangkat lebih pagi bersama adik-adiknya, hanya saja perkara hilangnya kaus kaki sebelah kiri membuatnya sedikit terlambat.
Ia memilih berjalan kaki menuju sekolah. Menurutnya, itu cukup baik, apalagi sekarang ia sedang dalam mode hemat. Keuangan keluarga Alder memang sedikit mengalami kenaikan. Tapi bukan berarti uang jajannya bertambah.
Pagi ini, Fadia terlihat kurang bugar. Dirinya terlihat lesu dan frustasi. Sejahat itukah uang sampai jika ingin mendapatkannya, seseorang harus berkorban banyak? Eh, tapi segala sesuatu itu memang butuh pengorbanan.
Alder tentu menyadari perubahan Fadia. Ya, sakitnya Fadia juga ... kendalanya yang seperti memutar masa lalu.
Nadia tiba-tiba saja menghentikan langkahnya ketika jaraknya sudah cukup jauh dari rumah. Mengenai per-uangan, ia jadi sedikit termenung. Meraba saku rok sekolahnya, dan merogoh saku-saku yang ada di seragamnya. Namun sayang, ia tidak menemukan apa yang dicarinya.
Ia lupa tidak membawa uang. Oh ayolah! Bagaimana caranya bayar uang kas kalau begitu?
Nadia memutar balik arah. Ia kembali berjalan ke rumah. Walaupun malas dan setengah jengkel, tapi ya mau bagaimana lagi?Untungnya masih cukup pagi, sehingga peluangnya terlambat sampai sekolah hanyalah 25%.
Memasuki rumah, Nadia tidak mendapati siapa pun di dalam sana. Ocha yang biasanya masih berkeliaran di luar kamar pun tak terlihat batang hidungnya.
Ya, Ocha, gadis itu bilang ia telah meminta izin untuk tidak sekolah selama beberapa hari ke depan semenjak kejadian itu.
"Hiks! H-hiks..!"
Nadia tersentak, isakan itu terdengar dari arah dapur. Ia membeku dengan tangan yang hendak memegang gagang pintu kamar. Nadia sempat berpikir untuk menghampiri apa pun atau siapa pun yang kini tengah menangis di dapur. Namun, waktu sudah mendesaknya hanya untuk mengambil uang, lalu segera pergi ke sekolah.
"Sudahlah," gumamnya seraya membuka pintu kamar. Siapa pun atau apa pun itu, Nadia hanya berharap semoga ia tidak mengganggu keluarganya.
Jin? Bisa jadi. Sangat mungkin.
Mengambil uang dari dalam dompetnya, ia lantas segera keluar dari kamar, tapi tidak langsung beranjak meninggalkan rumah. Nadia malah melipir ke depan kamar kedua orang tuanya. Ia tidak melihat sosok Alder atau pun Fadia di sana.
Nadia lantas mendorong pintu itu perlahan, hingga memudahkan akses masuk bagi dirinya. Nadia menyembulkan kepalanya, lalu memutar pandangannya, mencari keberadaan manusia di dalam sana. Dan hasilnya nihil.
Perlahan, Nadia merengsek masuk ke dalam kamar tersebut. Mencari sebuah benda berwarna hijau tosca. Tatapannya menelisik ke segala penjuru, mencarinya dengan betul-betul teliti. Hingga akhirnya, tatapannya berhenti di atas lemari pakaian.
Berjinjit adalah jalan ninjanya. Tentu saja, itu memudahkan Nadia menggapai benda yang diincarnya sejak tadi yang ternyata di simpan di atas sana. Ini semua tentu tak terlepas dari keuntungannya memiliki tubuh yang tinggi semampai.
Nadia mendengus ketika benda itu kini berada di tangannya. Masih sama seperti beberapa tahun lalu. Benda ini merupakan hadiah pertama darinya untuk sang Mama. Dari mana ia dapatkan uang-uangnya? Tentu saja dari hasil royalti yang ia dapatkan dari penjualan buku novel miliknya. Sejak dulu, hal itu yang menemani Nadia.
Tak ingin membuang waktu, Nadia lantas cepat-cepat membukanya, lalu merogoh saku rok yang dikenakannya.
"Nadia?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]
Teen Fiction"Pokoknya nih Ma, Pak, Bang, Ceu, Teh, Qilla mau beli Es Buah setiap hari selama bulan Ramadhan. Pliisss, ini udah gak kuat." Ini bukan sekedar es buah kaleng-kaleng yang gak punya keistimewaan! Bisa bikin manusia bisa terbang? Bisa bikin manusia pu...