Setelah turun dari angkutan umum, Nadia segera menyeret Aqilla untuk mendekati bangunan kotak berwarna merah di depannya yang kini tampak ramai oleh puluhan atau mungkin ratusan manusia.
"Ini kantor pos apa panti jompo sih?" Gumam Nadia heran saat melihat banyak lansia di sana.
"Ceu, kok banyak nenek-nenek sama kakek-kakek, ya?" Tanya Aqilla berbisik.
Langkah Nadia berhenti tepat di depan teras yang dipenuhi oleh para oma-opa, yang sontak diikuti Aqilla. "Kenapa berhenti?" Tanya Aqilla lagi.
"Kayaknya kita salah tempat deh. Ini mah panti jompo," bisik Nadia tanpa menolehkan kepalanya. Namun, tangannya tetap menggenggam telapak tangan milik Aqilla.
"Permisi?" Panggil seorang lelaki berkulit putih dengan seragam satpam kepada mereka. "Anda Bu Nadia?" Membenarkan apa yang ditanyakan orang itu, Nadia menganggukan kepalanya.
"Silakan, Bu, lewat sini. Anda sudah ditunggu pak manager," katanya seperti hendak menjadi seorang tour guide untuk mereka. "Sama anaknya juga, Bu. Dibawa aja."
Kedua manik mata Nadia menatap horror pria yang sepertinya menjadi satpam di tempat ini. Dua detik kemudian, tatapannya beralih pada Aqilla yang menatap orang di depannya dengan bingung.
"Siapa maksudnya?" Tanya Nadia pada akhirnya. Sudahlah, ia sedang malas untuk menebak-nebak.
"Adek ini." Tunjuknya menggunakan jempol kepada Aqilla.
"Astaghfirullah! Ini adik saya, Pak," sergah Nadia cepat. Matanya melotot, seakan-akan kedua bola matanya hendak keluar dari kelopaknya saat itu juga.
"Eh? Saya kira. Yaudah, yaudah, mari ikuti saya."
Nadia mendengkus malas. Memang sih, dia itu bongsor. Seperti orang yang duduk di bangku kuliah, padahal ia masih duduk di bangku kelas 3 SMA. Sedangkan Aqilla, dia sudah kelas 3 SD. Namun, karena badannya yang mungil, ia lebih cocok terlihat sebagai anak TK. Tapi apa banget gitu kan sampai disangka ibu-anak segala, hayati tidak tahan! Help.
Mereka akhirnya tetap membuntuti satpam itu melipir ke sisi samping kantor. Melewati semak belukar, belok kiri, sampai akhirnya mereka tiba di depan sebuah pintu bercat merah.
"Langsung masuk aja, Mbak," kata Satpam itu kikuk. Jelas saja, dia masih kaget melihat orang melotot seperti tadi. Masih belum menyangka, padahal wajah Nadia itu sangat kalem, manis tapi cantik. Gak ada tuh tanda-tanda singa besar bersemayam di dalam dirinya.
"Ceu, jangan galak-galak. Itu pak satpamnya jadi takut sama Ceuceu," tegur Aqilla saat si satpam telah berlalu meninggalkan mereka di tempat.
"Dia aja yang lebay. Ceuceu biasa aja dari tadi," jawab Nadia santai. Yaa dipikirannya, dia itu benar. Cewek kalau sudah berhadapan dengan cowok memang rata-rata begitu, ya? Pasti bawaannya pengen menang terus gitu. Intinya, lelaki itu memang sering salah di mata perempuan.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" Teriak seseorang dari dalam sana.
Tanpa aba-aba lagi, keduanya pun segera membuka pintu, dan melangkah menuju meja besar dengan mungkin puluhan berkas atau ratusan kertas di atasnya.
Lensa silver itu terangkat. Bertubrukan dengan lensa cokelat madu milik Nadia yang terpandang dingin. "Mbak Nadia Margareta?"
Pria itu berdiri, lalu menjulurkan tangannya untuk berjabat dengan Nadia.
"Ya." Nadia menjabat tangan itu singkat.
"Tunggu sebentar, kurir yang mengantarkan paket atas nama Margareta akan sampai dua menit lagi. Duduklah," titahnya sembari mendaratkan bokongnya pada kursi kebesaran yang menantinya sejak tadi ia berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Aqilla dan Es Buah [Completed]
Teen Fiction"Pokoknya nih Ma, Pak, Bang, Ceu, Teh, Qilla mau beli Es Buah setiap hari selama bulan Ramadhan. Pliisss, ini udah gak kuat." Ini bukan sekedar es buah kaleng-kaleng yang gak punya keistimewaan! Bisa bikin manusia bisa terbang? Bisa bikin manusia pu...