𝙺𝚎𝚗𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝟷

19.5K 3.1K 138
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gadis berumur delapan tahun itu bersimpuh di pinggir jalanan kota

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gadis berumur delapan tahun itu bersimpuh di pinggir jalanan kota. Tangisannya sudah mengering di pipinya yang sudah berminggu-minggu tak dibasuh. Kotoran dan tanah membuat wajah serta kulitnya kusam. Rambut sebahunya pun sudah tak sehitam dulu. Bibirnya kering dan pecah-pecah. Tenggorokkannya sangat kering, tapi kantong air yang ia curi beberapa hari lalu hanya tinggal sedikit. Ia bertekad untuk menyimpannya sampai malam ini.

Ree tahu, ia sudah mencapai negeri seberang.  Andalas. Negeri dengan warga yang memiliki badan tinggi dan berhidung mancung, negeri dengan empat musim. Untungnya ketika Ree sampai di negeri itu, bukanlah musim dingin yang menyambutnya. Namun udara musim gugur tetaplah dingin, sekalipun ia berada di desa perbatasan Andalas dan Judistia. Dinginnya udara sudah mulai menusuk hingga ke tulangnya.

Pakaiannya yang kotor dan sobek di beberapa tempat tak akan mampu lagi membuatnya hangat. Tidak untuk malam ini, esok, maupun lusa.

Sempat terlintas di pikirannya, mungkin ia lebih baik bersimpuh semalaman di pinggir jalan itu. Tidak memedulikan perutnya yang selalu berbunyi, mengacuhkan tenggorokkannya yang kering, dan tidak menghiraukan ujung-ujung kukunya yang mulai membiru. 

Tidak peduli. Lepas. Lepaskan hubungan dengan raga.

Lagipula ia sudah kehilangan banyak hal beberapa minggu yang lalu.

Ree sudah bukan siapa-siapa lagi di pinggir jalanan yang kumuh ini.

Ia hanya ingin tidur. Tapi setiap kali Ree memejamkan matanya, kejadian di hari itu terulang kembali dengan sangat jelas. Lagi dan lagi. Mimpi buruk itu tidak ingin melepasnya begitu saja.

Sup merah kesukaannya. Anielle, sahabatnya. Raja dan Ratu Judistia terlihat bahagia di ujung meja panjang, mereka berbicara dengan Pangeran dan Putri Judistia. Lalu... rakyat yang mengeluarkan pedang... dan pertumpahan darah dimulai. 

Kemudian pria itu. 

Pria itu. 

Pria yang dengan santainya mengambil mahkota Raja Brahma Janya, kemudian menahbiskan dirinya sendiri sebagai Raja Judistia yang baru.

Kemudian hutan. Hutan. Dan lebih banyak Hutan. Para rakyat dengan obor serta prajurit dengan pedang dan kuda. 

Teriakan terakhir yang Ree dengar berasal dari seseorang yang sangat dekat dengannya. Dan saat itulah kaki gadis itu tidak bisa lagi berlari, terpaku di tempat. Satu kakinya tercelup dalam kolam yang dangkal di sebuah bukaan dalam hutan. Ia melihat seorang prajurit baru saja menikam seseorang. Wajahnya yang muda ternodai oleh bercak-bercak darah. Ujung pedangnya berlumuran cairan merah kental. Dan di bawah kakinya, seorang gadis cilik terbaring.

Prajurit itu menebarkan pandangannya ke sekeliling. Sudah pasti kini giliran Ree. Prajurit itu akan membunuhnya. Tapi prajurit itu seakan tidak dapat melihat Ree di hadapannya. Ia malah naik kembali ke kudanya dan memacu hewan itu kembali masuk ke hutan.

Ree bingung. Namun, rasa pilu di hatinya dengan cepat menghapus segala rasa penasarannya. Ia menyentuh tubuh yang tergeletak di tanah. Ia mengguncangkan gadis yang tergeletak. Tak ada hasil.

"Bangun..." Kata gadis itu lemah sembari terus mengguncang-guncang tubuh di bawahnya. "Tolong bangunlah... kumohon..." Suara gadis itu serak dan tertatih-tatih oleh tangisan. 

Ia merasa rapuh. Hancur. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Kenapa ini semua terjadi? Ia hanyalah seorang gadis di tengah-tengah hutan. Ia tak bisa kembali ke negerinya, di mana rakyat akan mengenalinya dan kemudian membunuhnya. Ia tak bisa tetap di sini.

Jadi ia melakukan apa yang gadis seusianya akan lakukan. Menangis. Dan menangis.

Tangisannya terus menderu sementara hatinya terasa tercabik-cabik.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Turnamen Mentari | Seri 1 | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang