𝙺𝚎𝚗𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝟹

8.2K 2K 55
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika Ree membuka mata, dirinya sudah terbaring di sebuah tempat tidur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika Ree membuka mata, dirinya sudah terbaring di sebuah tempat tidur. Langit-langit kamar terlihat usang dan berdebu. Cahaya dari jendela sangat temaram, sepertinya sudah sore hari.

Ia masih bernapas.

Ree berusaha menggerakan jemarinya, mengetes fungsi anggota tubuhnya itu. Kemudian ia mencoba untuk duduk.

Bila ini adalah dunia di balik kematian, Ree merasa kecewa. Semuanya terlihat... usang dan hampir runtuh.

Ketika ia ingin mengusap wajahnya, matanya menatap lekat pada perban putih di pergelangan tangan. Sebuah warna merah yang samar terlihat di perban itu, menandakan darah kering. Belum sempat Ree memutuskan apakah dunia ini nyata atau tidak, sebuah suara tiba-tiba bergema dari arah pintu.

"Kau masih hidup," kata Xi dalam bahasa Lixi.

Ree tidak kuasa memberikan tanggapan. Jemarinya meremas perban itu kemudian dengan pelan ia membuka balutan tersebut. Hingga hanya kulit dengan garis berwarna pink kecokelatan yang terlihat.

Entah kapan Xi mulai melangkah, namun berikutnya ia berbicara suaranya terdengar sangat dekat dengan Ree. "Hei," kata remaja itu, "aku mengerti rasanya."

Benarkah? Ree mendengus sinis, kau bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi...

"Aku ada di sini."

Ree mendongak menatap Xi. Kata-kata itu sangat manis terdengar di telinga kecilnya. Xi dengan lembut menarik tubuh kecil Ree ke dalam rangkulannya. "Kita semua di sini memiliki luka. Tapi kita bisa ada untuk sama lain."

Bau remaja pria itu seperti musk dan vanilla digabung. Untuk pertama kalinya, Ree merasa sangat nyaman. Aman. Tenteram.

"Kau tidak tahu–" tiba-tiba suara Ree seakan tercekat di tenggorokannya. Aksen Lixi milik Ree sudah usang, tapi setidaknya Xi masih dapat mengertinya.

"Ikutlah aku," ajaknya.

Beberapa saat kemudian, Ree sudah dibalut dalam sweater, selendang, dan coat milik Garin. Ia berdiri di depan pintu luar dalam kebingungan. Garin juga membalut dirinya dalam pakaian yang hangat dan berdiri di hadapan Xi. Berikutnya seorang pria tengah baya muncul dan barulah Ree menyadari mereka semua berpakaian warna gelap.

Terakhir yang muncul dari tangga adalah Xandor, juga berpakaian serba hitam. Pria tua itu melihat Ree kemudian menaikkan satu alisnya dengan tatapan bertanya kepada Xi.

"Dia ikut kita," kata Xi mantap.

Xandor terlihat menghembuskan napas berat kemudian berkata, "tanggung jawabmu." Lalu pria tua itu membuka pintu dan menembus gelapnya malam dengan langkah tegap.

"Ayo, Pasukan Bayangan!" serunya.

"Ayo!" seru semua orang lain. Ree terkejut akan seruan itu.

Kemudian satu per satu orang menembus gelapnya malam, mengikuti arahan Xandor. Hingga tinggal Xi dan Ree yang berdiri di depan pintu. "Jangan jauh-jauh dariku," nadanya rendah, "apapun yang terjadi, jangan panik."

Sebelum Ree sempat membalas, Xi sudah melingkarkan pergelangan tangannya pada lengan Ree dan menariknya menembus kegelapan malam.

Ternyata tempat tinggal mereka sangat dekat dengan hutan, hanya berjalan lima belas menit saja mereka sudah berada di pintu hutan. Masing-masing dari mereka membawa lentera kecuali Ree.

"Lakukan seperti yang sudah kita rencanakan," seru Xandor dengan penuh wibawa, "Xi, lacak makhluk itu." Tak lama, sekitar tubuh Xi terasa lebih dingin. Entah bagaimana, Ree dapat merasakan sesuatu bereverberasi dalam tubuhnya. Ia merasakan sensasi getaran hingga ke tulangnya, begitu mencekam hingga bulukuduknya berdiri.

"Dia hanya tiga ratus meter di depan kita, jangan berisik," bisik Xi.

"Dae, siapkan senjatamu dan Garin, bersiap-siaplah!" perintah Xandor dengan bisikan.

Mereka semua kemudian mematikan lentera mereka. Ree secara insting memegang baju Xi, namun pria muda itu dengan lembut menggandeng tangan Ree dan membawanya semakin dalam ke hutan. Tak lama sebuah cahaya biru neon muncul di kejauhan. Cahaya itu membentuk rupa seperti tanduk yang sangat besar. Cahaya itu hanya memberikan penerangan bagi wajah hewan itu yang seperti rusa dengan berbagai bebatuan yang berkilauan pada dahinya. Dari warna lampu yang ternyata merupakan tanduk hewan itu, Ree mengira tubuhnya tiga kali lebih besar daripada tubuh Ree sendiri.

Lagi-lagi reverberasi itu terasa.

Xi mengeratkan pegangannya pada Ree tatkala bunyi angin terbelah terdengar.

Sebuah panah yang tadinya meluncur tiba-tiba berhenti tepat di depan mata makhluk itu. Ree merasakan reverberasi yang berbeda, kali ini ia tahu sumber magis itu dari dekatnya. Magis milik makhluk itu. 

Makhluk bercahaya itu panik melihat panah sedemikian dekatnya, ia mengeluarkan suara melengking dan mengangkat kedua kaki depannya dengan gusar. Beberapa detik kemudian suara hentakan yang kencang muncul di sisi lain hutan. Lalu lentera-lentera yang sebelumnya dimatikan telah dinyalakan kembali. Dae dan Xandor masing-masing telah menindih dua orang pria berpakaian hitam.

Saat itulah Ree baru melihat sebuah kereta dengan jeruji di balik pohon. Di balik jeruji besi, beberapa wanita dan bahkan anak-anak menatap takjub kepada makhluk itu. Tangan dan kaki mereka terantai.

Rasanya hanya berselang satu napas ketika Xi mengangkat tangan kirinya kemudian menjatuhkannya kembali. Lima orang yang sebelumnya Ree tidak dapat melihat tiba-tiba ikut terjatuh ke tanah dari dahan-dahan pohon.

Makhluk itu menjadi semakin panik. Dekat sekali dengan orang-orang yang terbaring di lantai hutan, makhluk itu menghentak-hentakkan kakinya. Suaranya semakin lama semakin memekakkan telinga... serta reverberasi yang Ree rasakan dari hewan itu semakin hebat.

Suara makhluk itu lama-lama semakin melengking, hingga telinga rasanya mau pecah. Semua orang di hutan itu terpengaruh. Fokus magis setiap orang menjadi pecah. Baik Xi, Xandor, dan Dae serta Garin kini berusaha menutupi kedua telinga mereka. Mereka yang sudah terbaring di lantai hutan semakin melemas.

Entah mengapa, Ree terdorong untuk melepaskan genggamannya pada Xi. Ia berlari menuju makhluk megah itu kemudian ia melantunkan sebuah nyanyian. Lagu kuno yang diajarkan Ibunya.

Melihat Ree, makhluk itu menjadi lebih tenang. Ia berhenti menghentakkan kakinya dan mendengus. Ree mengangkat kedua tangan kecilnya dan secara perlahan mendekati makhluk itu. Makhluk itu membiarkan jemari mungil Ree menyentuh wajahnya. Ree dapat merasakan hembusan napas makhluk itu yang hangat pada telapaknya.

Ree terlalu fokus untuk menenangkan makhluk itu hingga ia tidak menyadari sesuatu. Namun Xi dan para Pasukan Bayangan lainnya adalah saksi untuk malam itu. 

Bahwa bebatuan pada dahi dan tanduk makhluk itu semakin bersinar ketika Ree menyentuhnya. 


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Turnamen Mentari | Seri 1 | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang