20 - tragedi lapangan basket

677 58 1
                                    

'tidak bisa di pungkiri. Jika menyangkut hati, hal sekeras dan sekuat apapun bisa luluh dan rapuh juga pada akhirnya.'

-Aruna



-HappyReading-


"Terus, kalo kamu karna apa Run?" Mampus! Aku? Tentu saja aku tidak pernah mengalaminya bang.. kita sebenarnya berada di posisi yang sama.

"Eum.. kalo aku sih ya.. ya itu, karna bosen bang." Jawabku asal. Terserah lah, aku tidak peduli lagi.

"Pacar abang jahat banget Run. Masa dia bilang kalo dia udah bosen sama abang. Mana kata temen abang pas baru putus dari abang dia langsung punya pacar baru lagi. Haduh Run.. sakitnya bukan main." Aku teridam, tak tau harus jawab apa. Ternyata sepersis itu bang Mahes mengalami apa yang aku alami beberapa bulan yang lalu. Dan memang tidak bisa di pungkiri, rasanya sangat sakit. Hingga rasa-rasanya tidak cukup hanya melampiaskannya dengan menangis.

"Udah bang, sabar aja. Entar lama-lama juga abang terbiasa. Ini cuma bentar kok." Aku menjawab seraya menghapus air mata yang perlahan mulai turun di pipi bang Mahes. Rasanya sedikit aneh saat melihat bang Mahes yang biasanya sangat garang, malah menangis seperti ini hanya karna masalah perempuan.

Tapi tidak bisa di pungkiri. Jika menyangkut hati, hal sekeras dan sekuat apapun bisa luluh dan rapuh juga pada akhirnya. Seperti bang Mahes misalnya. Secara kekuatan fisik tidak usah di ragukan lagi, dia pemenangnya. Tapi hati, dia bisa rapuh juga.

"Tapi Run, kok kamu bilang gitu? Kaya udah pernah ngerasain aja." Lagi-lagi aku tertohok mendengar penuturan bang Mahes.

"Ya.. aku cuma kasih saran aja bang. Soalnya, itu.. temen aku banyak yang udah ngalamin kaya gini." Huh, untung saja ide ini cepat muncul di kepala.

"Ohh. Ini beneran sakit banget Run. Kamu gak boleh lagi ya mutusin pacar cuma karna bosen," aku hanya mengangguk pelan akan hal yang sama sekali tidak pernah aku lakukan.

"Oh iya. Kamu juga harus bilang sama abang kalo ada yang mutusin kamu cuma karna bosen kaya gini ya. Bakal abis itu orang sama abang, liat aja."

"Iya bang iya.. tenang aja," jawabku menenangkan bang Mahes.

"Abang mau tidur di sini."

"Hah? Yang bener bang. Kita bukan akan kecil lagi, masa iya kita tidur seranjang?"

"Abang tidur di bawah lah, pake kasur lantai."

"Ya udah deh terserah abang aja."

***

Setelah hampir dua jam belajar matematika, akhirnya jam istirahat tiba. Aku tidak berniat untuk ke kantin dan memilih untuk ke perpustakaan saja sendiri. Sedangkan Lexa dan Cut baru saja keluar kelas menuju ke kantin.

Lalu saat aku ingin bangkit dari kursi dan berjalan keluar kelas, langkahku seketika terhenti saat sebuah suara memanggil namaku.

"Aruna!" Aku berbalik dan mendapati Darel tengah berjalan mendekatiku.

"Kenapa?" Jawabku malas.

"Nih," ucapannya membuatku mengernyit saat tiba-tiba dia menyodorkan sebuah kotak bergambar ponsel.

"apa ini?" Tanyaku yang kini tengah menatapnya.

"Ini, hape lo gue ganti yang baru. Kan gimana pun juga hape lo rusak gara-gara gue."

"Duh kayanya gak usah deh Rel, aku juga udah beli hape baru kok." Jawabku yang tentu saja berbohong. Mana mungkin secepat itu aku membeli ponsel baru. Lagi pula aku tidak mau menerimanya. Tipe ponsel ini harganya terlalu mahal, tidak sebanding dengan ponsel yang aku miliki sebelumnya.

MOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang